Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Geliat Ekonomi Pinggiran: Menahan Laju Urbanisasi di Desa

Oleh: Dwi Mukti Wibowo, Pemerhati masalah ekonomi, sosial, dan kemanusiaan

Geliat Ekonomi Pinggiran: Menahan Laju Urbanisasi di Desa Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Jika melihat perkembangan ekonomi dari waktu ke waktu, dari desa ke desa, kita tidak bisa mengelak dari fakta jika kemajuan ekonomi di segala bidang mulai terlihat nyata. Meskipun permasalahan secara umum masih ada, seperti kesenjangan pembangunan desa dan kota.

Namun, semenjak pengesahan UU Desa Nomor 6 Tahun 2014, semangat untuk membangun ekonomi di pedesaan semakin menguat. Membangun desa berarti membangun Indonesia dari pinggir. Konsekuensinya, setiap desa mendapat perhatian dan kepercayaan lebih dari pemerintah untuk mengelola ekonomi di wilayahnya secara berkesinambungan. Dengan berlakunya UU Desa ini, pembangunan yang tadinya besifat sentralistik (terpusat di perkotaan saja) mulai bergeser.

Demikian pula biaya pembangunan mulai mengalir ke pedesaan. Kondisi ini menjadi relevan dengan semangat UUD 1945 yang menegaskan bahwa pembangunan Indonesia harus dilandasi prinsip keadilan sosial bagi seluruh Indonesia, termasuk keadilan ekonomi di desa.

Semangat memajukan ekonomi desa (berdasarkan UU Desa) sudah sesuai dengan Nawacita. Salah satu poinnya, membangun Indonesia harus diawali dari daerah-daerah pinggiran. Prinsipnya desa mengepung kota, dengan bidikan utama pembangunan berkategori 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal). Kenapa begitu? Karena setiap pedesaan itu punya potensi yang bisa digali, entah itu pertanian, budaya, atau bahkan pariwisata sehingga memunculkan kemandirian ekonomi.

Kemudian pembangunan ekonomi desa itu pada gilirannya akan mampu mengurangi kesenjangan yang ada di wilayahnya. Selain mampu mengurangi kesenjangan ekonomi, kemajuan pembangunan desa berimplikasi terhadap fenomena mengurangi arus urbanisasi. Apa itu urbanisasi? Urbanisasi adalah proses perpindahan penduduk dari desa ke kota. Urbanisasi dipicu oleh terhambatnya pemerataan pembangunan dan pengembangannya di daerah pinggiran kota dan pedalaman.

Menurut ahlli sosiologi, ada dua faktor penyebab terjadinya urbanisasi. Pertama, faktor penarik, yaitu kondisi perkotaan atau daya tarik daerah perkotaan yang mengakibatkan masyarakat pinggiran termotivasi untuk ke kota, antara lain fasilitas pendidikan yang lebih baik dan berkualitas, kehidupan kota yang lebih menarik dan modern, sarana dan prasarana kota yang lebih lengkap, serta banyaknya lapangan kerja di kota.

Kedua, faktor pendorong, yaitu kondisi di daerah pinggiran yang membuat masyarakat memilih untuk ke kota, antara lain lahan pertanian yang semakin sempit, tidak banyak lapangan pekerjaan yang tersedia, terbatasnya sarana dan prasarana, dan yang bersangkutan memiliki impian menjadi orang sukses di kota.

Dari dua faktor penyebab terjadinya urbanisasi di atas, motif utama masyarakat pedesaan melakukan urbanisasi adalah faktor ekonomi/kemiskinan, faktor pendidikan, dan faktor kurangnya akses informasi. Akses informasi memberikan andil terjadinya urbanisasi karena tidak sedikit dari pelaku urbanisasi disebabkan oleh ketidaktahuan atas kondisi perkotaan yang sebenarnya. Atau dengan kata lain, mereka hanya mengandalkan informasi yang tidak semuanya relevan dengan kebutuhan mereka.

Adapun, motif lainnya adalah faktor ketidaktersediaan potensi sumber daya alam dan manusia di daerah pinggiran atau desa yang mestinya mampu meningkatkan kesejahteraan hidupnya sekaligus mampu dipergunakan untuk membangun daerah masing-masing sehingga tidak perlu meninggalkan daerah asal. Seharusnya seperti pepatah mengatakan: sebaik-baik hidup di negeri orang, lebih enak hidup di negeri sendiri. Apalagi jika kita mampu menjadi raja di negeri sendiri.

Dengan demikian, memajukan ekonomi di desa bukanlah hal sulit. Menggeliatnya ekonomi pinggiran akan menjadi penahan laju urbanisasi ke kota, bahkan akan menimbulkan fenomena baru yaitu adanya suburbanisasi atau proses pengotaan di wilayah pinggiran kota. Contohnya, proses pembangunan wilayah kota yang kurang berkembang (disertai dengan adanya perpindahan penduduk kelas menengah), ke wilayah pinggir kota. Proses pengotaan desa juga ditandai dengan adanya pembangunan perumahan kelas menengah atas, perbaikan akses infrastruktur, dan perbaikan kualitas fisik/lingkungan wilayah pedesaan, sehingga menimbulkan aktivitas dan daya tarik baru di wilayah ini.

Adanya pembangunan fasilitas umum dan fasilitas sosial yang menunjang kebutuhan hidup masayarakat desa sehari-hari seperti pusat perbelanjaan, pusat kuliner, dan bahkan perhotelan menjadi sebuah kebutuhan yang dikenal dengan 3N, yakni ngemal, ngemil, dan ngemul.

Paradigma ngemal mengakomodir perlunya sebuah bangunan mal yang menampung segala aktivitas ekonomi masyarakat desa yang sifatnya lebih modern, trendi, dan lebih "kota". Jika dulunya aktivitas ekonomi terpusat di pasar tradisional kini sebagian mulai beralih ke minimarket, supermarket, bahkan hypermarket dan mall. Pamor pasar tradisional mulai merosot karena untuk orang-orang tertentu lebih menyukai berbelanja di tempat yang terang, bersih, harum dan banyak "pandangan" indah.

Negatifnya, jika ini terus berlanjut, bukannya tidak mungkin, pasar tradisional akan semakin berkurang perannya. Keriuhan pasar desa yang berdesak-desakan, becek, dan baunya yang lekat dengan kehidupan desa kemungkinan juga hanya tinggal kenangan. Oleh karena itu, perlu ada antisipasi agar pasar tradisional beserta para pedagang yang melakukan aktivitas di sana tidak menjadi korban perubahan ini.

Meskipun demikian, ada faktor positif yang tidak bisa dipungkiri. Kehadiran mall di desa akan menciptakan lapangan kerja sesuai potensi daerah. Penyerapan tenaga kerja akan mencegah masyarakat desa berbondong bondong ke kota. Apa yang dibutuhkan dari kota sudah dapat terpenuhi di desa.

Paradigma ngemil mengakomodir modernisasi dan tuntutan pasar global yang telah memicu perubahan dalam kehidupan keseharian masyarakat pinggiran. Perhatikan saja, pengembangan dan perluasan kota telah mempengaruhi gaya hidup masyarakat pinggiran kota, bahkan desa, termasuk mempengaruhi pola konsumsi mereka.

Pola konsumsi yang semula lebih mengutamakan makanan dan minuman yang bahan dasarnya berasal dari wilayah desa, kini mulai mulai terpengaruh pada serbuan makanan dan minuman dari kota maupun luar negeri. Makanan dan minuman ala franchise sudah bukan barang asing lagi bagi masyarakat pinggiran. Promosi tentang makanan dan minuman instan begitu masih di media cetak maupun elektronik.

Pola konsumsi masyarakat desa benar benar sudah mulai terjangkit. Apapun jenis kuliner yang tadinya hanya ada dikota kini dengan mudah dapat ditemui di daerah pinggiran. Variasi kuliner dari negara Amerika Serikat, Arab Saudi, Korea Selatan, Jepang, Thailand, Vietnam, serta dari berbagai daerah di Indonesia juga sudah merambah di desa. Jadi jangan heran, ngemilnya orang-orang pinggiran yang dulu masih berkisar pada goreng-gorengan hasil kebun, kini sudah berubah. Anehnya, orang kota sekarang ini justru ingin kembali ke makanan tradisional yang lebih sehat.

Sementara paradigma ngemul harus mampu mengakomodir permasalahan perumahan bagi golongan masyarakat pinggiran berpenghasilan rendah. Penyediaan perumahan yang harganya terjangkau dan dapat memberikan rasa kenyamanan warga desa menjadi hal yang utama sekarang ini. Yang tak kalah pentingnya adalah mulai bermunculan hotel-hotel berskala kecil sampai menengah di kawasan pinggiran sebagai konsekuensi perkembangan status wilayah tersebut dari semula desa tradisional berkembang menjadi desa wisata. Hal ini menunjukkan semakin elastisnya kemajuan desa yang mulai berbenah diri agar tidak ditinggal urbanisasi warganya sendiri

Dari uraian di atas terdapat beberapa hal yang dapat disimak, yakni

1. Kemajuan ekonomi di desa kini sudah menjadi sebuah keniscayaan. Kemajuan ini sangat efektif untuk mencegah laju urbanisasi yang didefinisikan sebagai proses pengotaan wilayah perdesaan yang dapat dijadikan sebagai salah satu instrumen dalam pengembangan wilayah;

2. Proses pengotaan wilayah perdesaan diharapkan mampu menarik aliran investasi dan modal sehingga terjadi pertumbuhan ekonomi. Dengan adanya pertumbuhan ekonomi di wilayah perdesaan yang mengalami urbanisasi akan berdampak pada peningkatan kesejahteraan penduduk di wilayah perdesaan;

3. Kita tidak boleh menafikkan jika para pelaku ekonomi yang membuat negara ini masih memiliki kemandirian ekonomi adalah pelaku-pelaku ekonomi pinggiran seperti PKL, penjual sayur di pasar, pemilik toko kelontong di desa dan di pasar tradisional, serta para petani yang ada di desa-desa.

Simpulannya, harus diakui jika ekonomi pinggiran selama ini terbukti tangguh. Ia mampu bertahan di berbagai keadaan ekonomi dan tidak terpengaruh dari krisis yang menerpanya. Oleh sebab itu, pembangunan ekonomi yang mulai bergeser mengedepankan pembangunan ekonomi pinggiran menjadi hal yang harus segera direalisasikan, dan tidak boleh ditawar lagi.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Cahyo Prayogo

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: