Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Teh Kemasan: Dimanjakan Budaya

Teh Kemasan: Dimanjakan Budaya Kredit Foto: Unsplash/Peter Bond
Warta Ekonomi, Jakarta -

Sebuah paradoks terselip di sela lemari pendingin warung modern berjaringan yang menjamur di kota-kota besar. Bila kita perhatikan, di antara jajaran botol-botol minuman yang dijual itu, akan didapati sebuah minuman teh dalam kemasan botol, tapi ber-brand "Teh Gelas". Ada juga minuman teh kemasan kotak dengan brand yang sama dan juga "Teh Botol".

Mungkin ini terkesan sepele. Namun bila dipahami seksama, fenomena tersebut tengah menunjukkan bahwa brand-brand itu telah mengekspansi sedemikian rupa sejak bisnis ini didirikan.

"Karena memang dengan potensi pasar yang besar, sangat disayangkan kalau mereka stuck di satu jenis packaging saja karena (masing-masing jenis packaging) itu pasarnya berbeda-beda," ujar Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi), Adhi S Lukman, kepada Warta Ekonomi beberapa waktu lalu.

Indonesia selama ini memang seolah menjadi "surga" bagi para pelaku industri makanan dan minuman. Dalam setahun saja, menurut Adhi, ada sedikitnya tiga hingga empat juta tambahan orang yang mulai turut memperbesar pasar makanan dan minuman dalam negeri. Khusus produk minuman, Indonesia juga "dianugrahi" fakta sebagai salah satu negara pengonsumsi minuman terbanyak di dunia. Terlebih lagi aktivitas minum teh yang secara turun-menurun telah menjadi budaya di masyarakat Tanah Air, khususnya di Jawa, Bali, dan Sumatera.

"Orang kita itu bisa diumpamakan isengnya saja minum, entah teh atau kopi. Bertemu teman, ngeteh atau ngopi di kedai. Bertemu kerabat atau rekan bisnis, juga sama. Ada tetangga atau tamu berkunjung, juga ngeteh atau ngopi. Jadi pelaku (industri) enggak ngapa-ngapain pun, pasarnya juga sudah potensial, bahkan sangat potensial," tutur Adhi.

Persaingan Ketat

Pendapat Adhi dibenarkan oleh Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Air Minum Dalam Kemasan Indonesia (Aspadin), Rachmat Hidayat. Ia menyatakan pasar air minum dalam kemasan di Indonesia menyimpan potensi yang sangat besar. Tak terkecuali untuk jenis minuman teh siap saji. Karena itu, tak heran bila kemudian pelaku industrinya juga sangat banyak baik dari dalam maupun luar negeri. Baik dari kalangan pelaku nasional maupun pengusaha lokal di masing-masing wilayah.

"Dari luar negeri ada banyak. Sebut saja Asahimas yang pernah kerja sama dengan grup Indofood. Lalu, pelaku industri pakan ayam dari negeri tetangga juga ikut masuk. Danone sekarang juga ikut main di teh. Belum lagi dari pelaku industri setempat. Di setiap daerah, saya jamin pasti ada produk minuman teh dari pelaku lokal. Jadi industrinya memang cukup padat," ujar Rachmat.

Padatnya persaingan di industri ini, menurut Rachmat, juga bisa dilihat dengan gamblang lewat banyaknya produk teh dalam kemasan yang dipajang di minimarket. Saking banyaknya, penguasaan pasar di antara mereka relatif merata dengan porsi perbedaan antara entitas bisnis juga tidak begitu dominan. Selain itu, banyaknya pemain membuat karakteristik pembeli di ceruk ini cenderung impulsif dan spontan.

"Hampir sebagian besar orang datang ke toko atau warung dengan tanpa adanya persiapan mau beli teh merek apa, jenisnya yang mana, dan sebagainya. Mereka spontan saja melihat produk-produk yang benar-benar hadir di depan mata, lalu dipilih saat itu juga," ungkap Rachmat.

Atensi

Dengan karakteristik tadi, kehadiran dan eksistensi sebuah produk benar-benar menjadi salah satu kunci agar pelaku bisnis teh dalam kemasan dapat bertahan. Artinya, jaringan distribusi yang kuat dan solid hingga ke daerah-daerah juga harus dikuasai. Tentunya, itu membutuhkan dukungan dana yang tidak sedikit.

"Misal, satu brand punya satu juta outlet dengan persediaan per outlet satu piece per hari, artinya sudah harus spending satu juta piece per hari. Per minggu sudah berapa? Per bulan sudah berapa? Dan itu masih satu piece per hari per outlet. Kalau lebih? Artinya, spending yang dibutuhkan lebih besar lagi," tambah Adhi.

Selain benar-benar eksis di tengah masyarakat, hal lain yang perlu dilakukan adalah ketanggapan pelaku industri terkait dinamika perubahan gaya hidup di masyarakat, langsung maupun tidak langsung. Pasalnya, ini berkaitan erat dengan permintaan pasar yang ada. Salah satu contoh konkretnya adalah mobilitas masyarakat yang kini semakin tinggi. Inilah alasan bentuk kemasan yang mobile lebih dipilih ketimbang botol kaca yang dulu sempat merajai pasar ini.

"Orang sekarang kurang suka dengan kemasan botol kaca ala Sosro karena harus dihabiskan dulu, lalu kembalikan. Orang lebih suka dengan botol plastik yang bisa dibawa-bawa. Minumnya pun bisa disisakan nanti untuk di perjalanan," tuturnya.

Bukan berarti teh botol kaca tak lagi diminati. Kemasan botol kaca sejauh ini masih cukup diminati, tapi lebih identik dengan kesan premium yang disajikan di restoran dan semacamnya. Kesan ini juga banyak dibangun di air mineral dalam kemasan (AMDK) berbotol kaca yang didistribusikan di hotel-hotel berbintang.

Selain itu, dinamika permintaan pasar yang lain di antaranya terkait kemasan keluarga (family pack) atau kemasan gelas plastik dengan yang bisa habis sekali minum. Di lain pihak, secara harga juga menjadi lebih terjangkau.

"Yang saya lihat di daerah-daerah juga sudah mulai ada perubahan. Kalau dulu untuk suguhan tamu biasanya pakai teh seduh. Sekarang beberapa sudah mulai pakai teh kemasan gelas ini. Jadi tinggal stok saja. Lebih simpel," papar Adhi.

Sementara jurus terakhir, baik Adhi dan Rachmat sama-sama sepakat menyebut kemampuan branding secara tepat dan efektif wajib dimiliki bila tidak ingin bisnisnya seumur jagung. Branding tersebut bisa berupa pilihan rasa, bahan baku, cara pengolahan, hingga hal-hal lain yang bisa menjadi trademark produk yang membekas di benak konsumen. Misalnya, Teh Pucuk Harum yang mengidentikkan diri dengan hanya menggunakan bahan baku daun teh yang ada di pucuk pohon.

"Strategi branding Teh Pucuk Harum harus diakui sangat berhasil sehingga bisa benar-benar menancap di benak konsumen. Sampai-sampai sukses menge-grab pasar cukup signifikan," tegas Rachmat.

Dengan tiga strategi kunci tadi, diyakini bisa menggerakkan konsumen manakala berada di depan lemari pendingin warung modern berjaringan dan hendak memutuskan untuk membeli produk teh dalam kemasan.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Yosi Winosa
Editor: Cahyo Prayogo

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: