Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Ekonom: Kondisi Saat Ini Berbeda dengan Krisis 1998

Ekonom: Kondisi Saat Ini Berbeda dengan Krisis 1998 Kredit Foto: Antara/Wahyu Putro A
Warta Ekonomi, Jakarta -

Krisis moneter 1998 yang dipicu oleh krisis mata uang negara berkembang memang sedikit mirip dengan kondisi saat ini dimana mata uang negara berkembang termasuk Indonesia terus mengalami pelemahan. Pada tahun 1998 krisis dimulai dari Thailand dan Indonesia. Dan di 2018 dimulai dari Turki, Argentina dan merembet ke negara berkembang lain.

Berdasarkan data Bloomberg, hari ini, Selasa (04/09/2018), nilai tukar rupiah di pasar spot melemah 120 poin atau terdepresiasi 0,81% ke level Rp14.935 per dolar AS pada penutupan perdagangan. Nilai tukar Rupiah merosot ke level terendah terhadap Dolar AS sejak krisis keuangan Asia 1998 atau 20 tahun terakhir.

Namun kondisi saat ini jelas berbeda dengan kondisi Indonesia saat mengalami krisis moneter 1998. Ekonom Indef Bhima Yudhistira mengatakan, dari segi kesiapan saat menghadapi krisis, fundamental Indonesia sangat siap dan cukup kuat terlihat dengan perbaikan rating utang yang signifikan.

"Tahun 1998 rating Fitch anjlok hingga B- dengan outlook Negatif. Tahun 2018 per September Fitch memberikan rating utang BBB dengan outlook Stabil," ujar Bhima di Jakarta, Selasa (04/09/2018).

Kemudian dari segi pertumbuhan ekonomi juga jelas sangat berbeda. Kinerja pertumbuhan ekonomi pada tahun 1998 merosot ke -13,6%, sementara saat ini pertumbuhan ekonomi berada di 5,2% per triwulan II 2018. Lalu dilihat dari kacamata inflasi, pada krisis 1998 Inflasi sempat naik hingga 77%, namun sekarang cukup stabil dibawah 3,5%.

"Pelemahan kurs rupiah belum terlihat dampaknya pada Agustus 2018 yang justru mencatatkan deflasi," jelas Bhima.

Adapun fundamental lain seperti Cadangan devisa tahun 1996 sebelum krisis berada diangka US$18,3 miliar. Hal ini berbeda dengan cadangan devisa saat ini yang berada dikisaran US$118,3 miliar.

"Kemampuan Bank Indonesia (BI) untuk intervensi Rupiah melalui cadangan devisa jauh diatas kemampuan tahun 1996 sebelum menghadapi krisis," paparnya.

Meskipun beberapa indikator menunjukkan perbaikan, namun Bhima mencermati masih defisitnya transaksi berjalan Indonesia. Pada triwulan II 2018 defisit transaksi berjalan Indonesia mencapai US$8 miliar menembus 3% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

"Negara dengan defisit transaksi berjalan sangat rentan terpapar krisis ekonomi. Turki dan Argentina kedua nya memiliki defisit transaksi berjalan yang cukup lebar," tukas Bhima.

Baca Juga: Imigrasi Depak WN Turki dari Bali gegara Sembunyikan Buronan

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Fajar Sulaiman
Editor: Kumairoh

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: