Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

BI Prediksi Rupiah di Rp14.300-14.700 Tahun Depan

BI Prediksi Rupiah di Rp14.300-14.700 Tahun Depan Kredit Foto: Antara/Puspa Perwitasari
Warta Ekonomi, Jakarta -

Bank Indonesia memperkirakan nilai tukar rupiah akan bergerak pada rentang Rp14.300-14.700 per dolar AS pada 2019, dengan keyakinan bahwa tekanan ekonomi global pada tahun politik itu tidak akan seberat 2018.

"Nilai tukar pada 2019 sebesar Rp14.300-Rp14.700 per dolar AS, memiliki rentang yang lebih lebar seperti yang disampaikan," kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam rapat Badan Anggaran DPR RI di Jakarta, Selasa (4/8/2018).

Rentang itu sempat dinilai terlalu optimistis oleh anggota Badan Anggaran DPR RI karena ketidakpastian ekonomi global pada tahun ini sudah membuat rupiah loyo hingga menyentuh Rp14.900 per dolar AS. Menurut data Bank Sentral, secara tahun berjalan, rupiah sudah melemah 7,8%.

Namun, menurut Perry, ada dua penyebab kurs rupiah akan lebih baik pada tahun mendatang. Pertama, tekanan ekonomi eksternal pada 2019 tidak akan sekencang 2018. Paramater utamanya, ekspektasi bahwa Bank Sentral AS, The Federal Reserve hanya akan menaikkan suku bunga acuan sebanyak dua hingga tiga kali pada 2019, dibanding 2018 yang sebanyak empat kali.

Alhasil, kata Perry, ketidakpastian pasar keuangan global 2019 tidak akan sebesar tahun ini.

"Memang masih naik, tapi kenaikannya lebih kecil, sehingga tekanan dari global, kenaikan suku bunga juga tidak setinggi yang terjadi tahun ini," ujar dia.

Kedua, perbaikan defisit transaksi berjalan yang menjadi bagian neraca pembayaran. Defisit transaksi berjalan yang terdiri dari perdagangan barang dan jasa menggambarkan arus masuk dan keluar devisa.

Sederhananya, jika transaksi berjalan defisit, maka devisa yang keluar lebih banyak. Jika surplus, maka devisa yang masuk ke dalam negeri lebih banyak. Sayangnya, transaksi berjalan hingga kuartal II-2018 masih defisit di 3% terhadap PDB.

Pada 2019, Perry menyebutkan, neraca transaksi berjalan memang masih akan defisit, namun besaran defisitnya akan menurun.

Salah satu penyebabnya, diklaim Perry, adalah penerapan kebijakan bahan bakar biodiesel, yaitu campuran 80% minyak solar dan 20% minyak sawit (B20) untuk semua sektor mulai 1 September 2018.

Pada 2018, menurut Perry, selama empat bulan kebijakan B20 diterapkan, maka akan menurunkan impor US$2,2 miliar. Proyeksi penurunan impor akan mencapai minimal US$6 miliar pada 2019.

Jika impor menurun, maka jumlah devisa yang terbuang keluar negeri juga akan menurun. Maka amunisi devisa untuk menopang nilai tukar rupiah juga akan semakin kuat.

Kemudian dengan B20, terdapat tambahan devisa dari penghasilan ekspor minyak sawit mentah (CPO) karena kenaikan harga komoditas tersebut.

Secara perhitungan kasar, BI melihat kebijakan B20 akan mengurangi defisit transaksi berjalan dengan tambahan devisa US$9-10 milair pada 2019.

"Tambahan devisa itu kan besar. Belum lagi dari (sektor) pariwisata," kata Perry.

Pada 2018, Bank Sentral, kata Perry, akan tetap melakukan intervensi ganda di pasar valas dan Surat Berharga Negara (SBN) untuk menahan pelemahan rupiah, serta mempermurah biaya barter (swap) valas dan lindung nilai, selain opsi dengan mempertimbangkan kenaikkan instrumen suku bunga acuan "7-Day Reverse Repo Rate".

Intervensi ganda dilakukan BI dengan menstabilisasi pasar valas agar likuiditas terjaga, dan membeli SBN yang dilepas investor asing di pasar sekunder.

"Hari Jumat (31/8) di pasar SBN, kami beli Rp4,1 triliun yang dijual oleh asing," ujarnya.

Baca Juga: Imigrasi Depak WN Turki dari Bali gegara Sembunyikan Buronan

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Rosmayanti

Bagikan Artikel: