Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

5 Faktor Kunci Pelemahan Rupiah Menurut Bahana

5 Faktor Kunci Pelemahan Rupiah Menurut Bahana Kredit Foto: Antara/Sigid Kurniawan
Warta Ekonomi, Jakarta -

Cepat atau lambat pelemahan rupiah yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir telah dan akan berpengaruh terhadap sejumlah perusahaan karena depresiasi rupiah akan memaksa sebagian perusahaan menaikkan harga barang akibat ongkos untuk membeli bahan baku impor yang semakin mahal, belum lagi bagi perusahaan yang memiliki kewajiban dalam dolar.

PT Bahana Sekuritas melakukan riset terhadap beberapa perusahaan di sektor konsumer yang memiliki sensitivitas tinggi terhadap pelemahan rupiah, maupun terhadap perusahaan yang kinerjanya tidak terlalu berpengaruh atas depresiasi rupiah.

Rupiah pada pekan lalu ditutup menguat 0,49% di level Rp14.820 per dolar AS, penguatan terbesar bila dibanding nilai tukar negara lain, seperti ringgit Malaysia menguat 0,01%, peso Filipina terapresiasi sebesar 0,27%, dan baht Thailand menguat 0,05%. Secara year to date, nilai tukar rupiah melemah 8,54%, lebih baik dibanding rupee India yang terdepresiasi hingga 11,31%.

Dalam riset ini, Bahana melihat lima faktor kunci yang didasarkan pada pola historis pelemahan rupiah yang signifikan pada 2013, rupiah terdepresiasi hingga 24% dalam waktu tujuh bulan dan pada 2015 kembali mengalami depresiasi sebesar 11% dalam waktu sembilan bulan. Faktor pertama adalah eksposur valuta asing bersih yang dimiliki perusanaan, yakni omzet perusahaan dikurangi dengan beban biaya.

Kedua, faktor kemampuan perusahaan untuk menaikkan harga barang. Berikutnya adalah jumlah hari persedian (inventory days) dan fleksibilitas dalam memotong opex. Terakhir, dengan melihat eksposur utang valuta asing perusahaan.

"Ada tiga hal mendasar yang bisa kita gunakan untuk melihat fleksibilitas perusahaan dalam menyesuaikan harga barang, yakni apakah barang tersebut adalah bahan kebutuhan utama, tingkat persaingan dan tersedianya barang penganti atau substitute goods di pasar, dan yang terakhir bagaimana tingkat harga barang itu sendiri," papar Analis Bahana Sekuritas Deidy Wijaya dalam keterangan resminya di Jakarta, Senin (10/9/2018).

Dengan melihat lima faktor kunci ini dan berkaca pada depresiasi rupiah di masa lalu yang cukup dalam, yakni pada 2013 dan 2015, anak usaha Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI) ini menilai pada dasarnya perusahaan di sektor konsumer adalah perusahaan yang tahan uji terhadap pelemahan rupiah, apalagi bila nilai tukar melemah secara gradual, sehingga perusahaan memiliki waktu untuk melakukan penyesuaian harga secara perlahan, meski tidak dipungkiri ada beberapa perusahaan konsumer yang mengalami tekanan.  

Dalam riset tersebut, anak usaha Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini menilai PT Gudang Garam (GGRM), PT Hanjaya Mandala Sampoerna (HMSP), dan PT Mayora Indah adalah tiga perusahaan yang paling resilient terhadap pelemahan rupiah. Pasalnya GGRM dan HMSP memiliki bahan baku mayoritas dari dalam negeri, hanya sebagian tembakau yang diimpor. Sementara beban perusahaan yang paling besar adalah pembayaran cukai, sehingga meskipun nilai tukar rupiah melemah, kinerja kedua perusahaan rokok ini tidak terpengaruh.

Demikian halnya dengan MYOR, meskipun sebagian besar bahan baku terpengaruh dengan depresiasi rupiah, namun perusahaan makanan ini memiliki penjualan ekspor, sehingga beban biaya dalam dolar yang dikeluarkan bisa di-offset dengan pendapatan dolar yang dihasilkan.

"Masyarakat akan lebih mementingkan kebutuhan untuk rokok dan makanan dibanding barang lain yang lebih bersifat diskresioner. Inilah satu faktor yang menguntungkan bagi GGRM, HMSP, dan MYOR," papar Deidy.

Sementara itu, tiga perusahaan yang lebih sensitif terhadap pelemahan rupiah adalah PT Erajaya Swasembada (ERAA), PT Mitra Adiperkasa (MAPI), dan PT Ace Hardware (ACES). Masalah yang dihadapi ketiga perusahaan ini hampir sama, kurang diuntungkan saat nilai tukar rupiah terdepreasiasi karena porsi impor yang cukup besar, ditambah perusahaan tidak memiliki banyak ruang untuk memotong opex (karena tingkat variable opex/revenue yang relatif kecil).

"Ditambah lagi, kemapuan perusahan untuk menaikkan harga cukup terbatas, sehingga akan berpengaruh terhadap permintaan (jika harga dinaikkan terlalu tinggi) atau marjin perusahaan bila rupiah terus terdepresiasi," pungkasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Rosmayanti

Bagikan Artikel: