Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Schroders: Aksi Jual Karena ‘Kepanikan’ Negara Berkembang Terpukul

Schroders: Aksi Jual Karena ‘Kepanikan’ Negara Berkembang Terpukul Kredit Foto: Antara/Muhammad Adimaja
Warta Ekonomi, Jakarta -

PT Schroders Investment Management Indonesia memandang aksi jual di pasar modal Indonesia merupakan 'kepanikan' akan efek kejadian Turki, Argentina, dan Brazil.

Senior Vice President Intermediary Business Schroders, Adrian Maulana mengatakan jika negara berkembang, termasuk Indonesia terpukul karena kejadian tersebut. 

"Negara-negara tersebut (negara berkembang) mengalami twin defisit, yaitu Current Account Deficit (CAD) dan Fiscal Deficit. Bedanya, negara-negara lain itu alami inflasi tinggi. Sedangkan inflasi kita rendah di 3,2% (Inflasi Turki 18%, Argentina 31%)," ungkapnya ketika dihubungi di Jakarta, Senin (10/9/2018).

Lebih lanjut ia meyebutkan, selama ekonomi Amerika Serikat (AS) membaik, suku bunga akan terus meningkat, mata uang dolar AS terus menguat, kemudian harga minyak masih tinggi, maka negara-negara dengan CAD akan rentan.

Adapun, katalis akan membantu apabila suku bunga The Fed naik secara gradual (tidak agresif), lalu risiko perang dagang tidak memburuk dan minyak cenderung menurun. 

"Hari ini, valuasi obligasi dan saham sudah lebih menarik. Tinggal butuh kebijakan pemerintah yang lebih struktural dan konkret untuk meredam volatilitas. Kalau dilihat, kan obligasi pemerintah 10 tahun di kisaran 8,6% dan IHSG -8,29%," jelasnya.

Menurutnya, Indonesia berhasil melewati masa krisis pada 2013 dan 2015. Saat itu, yield obligasi nyaris di posisi 9%, tapi kemudian membaik. Saat ini, lanjutnya, yield memang sudah menarik, namun investor asing belum agresif masuk ke pasar obligasi karena volatilitas dolar-rupiah yang terefleksikan dalam Non-Delivarable Forward (NFD) dan premi efek Swap yang masih mahal untuk asing melakukan hedging dalam rupiah. 

"Tapi kalau negatif sentimen sudah turun, volatilitas dolar-rupiah mereda, maka spread antara hedging cost dan nominal yield jadi positif, maka asing akan melirik kembali pasar SUN Indonesia. Apalagi spread US Treasury dan SUN lebih 5%," jelasnya.

Ia malah menganjurkan investor lokal tidak terlambat masuk ke pasar obligasi (langsung maupun reksadana) karena yield sudah menarik dan investor lokal tidak memiliki liability dalam USD.

"Jadi yang lokal, jangan sampai terlambat masuk," pungkasnya. 

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Rosmayanti

Bagikan Artikel: