Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Menanti Kembalinya Grasberg ke NKRI

Menanti Kembalinya Grasberg ke NKRI Kredit Foto: Freeport Indonesia
Warta Ekonomi, Jakarta -

Ada satu predikat yang pernah dilontarkan politisi senior Amien Rais terhadap PT Freeport Indonesia: negara dalam negara. Ia mengatakan demikian karena apa yang dikerjakan perusahaan tambang asal Amerika Serikat ini memang seperti tidak terpantau oleh radar Pemerintah Indonesia. Pernyataan itu tidak sepenuhnya salah, tapi juga tak sepenuhnya benar. Banyak hal yang belum diketahui publik terkait operasi tambang emas terbesar kedua di dunia ini setelah Escondida di Chili.

Adalah Jacques Dozy menemukan pegunungan tembaga ketika melakukan ekspedisi di Cartens Pyramid, Papua, pada 1936. Dozy yang berlatar pendidikan geolog ketika itu melakukan ekspedisi bersama Antonie Hendrikus Cojin dan Frits Julius Wissel. Mereka menemukan pegunungan tembaga.

Usai Perang Dunia II persisnya 1959, temuan Dozy—geolog asal Belanda—ini didengar Forbes Wilson, geolog Freeport McMoran. Pada 1960, ia bertolak ke Papua dan terkagum-kagum dengan gundukan gunung tembaga di ketinggian 2.000 meter di atas permukaan laut.

Dari Papua, Forbes Wilson membawa sampel batuan dari Ertsberg ke Amerika Serikat. Hasil analisis Freeport menyatakan Ertsberg tambang yang menguntungkan kalau dieksplorasi. Sayang, ketika itu rezim Presiden Soekarno rada anti akan investasi Barat yang diidentikkan sebagai bentuk lain kolinialisme baru.

Setelah rezim Orde Lama runtuh, rezim baru merilis Undang-Undang Penanaman Modal pada 10 Januari 1967. Tiga bulan setelah itu, persisnya 7 April 1967, Freeport McMoran menandatangani kontrak karya (KK) yang berlaku 30 tahun (1967—1997) dengan Presiden Soeharto. Freeport perusahaan asing pertama yang masuk ke Indonesia.

Belakangan hari, Soeharto baru menyadari bagian untuk Pemerintah RI begitu sedikit dan meminta jatah 8,5% saham dan royalti atas penambangan di Ertsberg. Lama tarik-menarik ini sampai akhirnya permintaan saham itu dikabulkan Freeport. Ketika sedang asyik mengeruk kekayaan bumi Papua, Freeport menemukan lagi cadangan emas yang lebih besar dari Erstberg, namanya Grasberg pada 1988. Sebelum KK-I berakhir, Freeport sudah mengajukan perpanjangan kontrak guna menambang Grasberg.

Permintaan ini disetujui dan keluarlah KK generasi kedua pada 1996. KK II ini berakhir pada 2022. Rupanya, untuk menambang Grasberg, dana Freeport kurang mencukupi dan mengijon ke Rio Tinto Plc yang berkedudukan di London. Lahirlah participating agreement yang memberi hak 40% atas produksi tambang Freeport ke Rio Tinto pada 1995. Kesepakatan ini pun disetujui Pemerintah RI yang ketika itu memiliki 9,36% saham di Freeport.

Selama separuh abad Freeport menambang di Ertsberg dan Grasberg, sudah 1,7 miliar ton emas dan tembaga yang dikeruk perusahaan dari 3,8 miliar ton cadangan emas dan tembaga. Freeport perkirakan sampai 2054 cadangan itu akan habis dengan tingkat produksi 100 ribu ton per hari. Sebelum hasil bumi Papua terkuras habis, Pemerintah RI mengubah aturan main yang dianggap lebih pro kepentingan rakyat Indonesia dengan mengganti KK menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK) melalui Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu bara.

Tarik ulur tak terhindarkan dan berlarut sampai akhirnya Bos Freeport McMoran, Richard Adkerson, menyerah dan mau meneken kesepakatan dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Alam, Ignatius Jonan, pada 29 Agustus 2017. Ada empat kesepakatan yang ditandatangani, yakni peralihan dari KK ke IUPK dan perpanjangan kontrak 2x10 tahun (2041), kewajiban membangun smelter kurun lima tahun, stabilitas penerimaan negara, dan divestasi 51% saham Freeport.

Pada 12 Juli 2018, head of agreement divestasi 51% saham Freeport pun ditandatangani antara Direktur Utama (Dirut) PT Inalum, Budi Gunadi Sadikin (BGS) dan Presiden Direktur (Presdir) Freeport McMoran Inc, Richard Adkerson. HoA ini memang masih berisi pokok-pokok perjanjian yang belum mengikat (nonbinding) yang akan ditindaklanjuti dengan tiga perjanjian lagi. BGS perkirakan dalam dua bulan, tiga perjanjian itu akan rampung, paling telat akhir Desember 2018.

Saat itulah, momen spesial bagi Indonesia yang akan menyaksikan kembalinya tambang Grasberg kepangkuan Ibu Pertiwi setelah 50 tahun dalam dekapan Freeport. Ketika itu pula pupus sudah "negara" Freeport di Grasberg dan kembali menjadi bagian NKRI.

Baca Juga: Imigrasi Depak WN Turki dari Bali gegara Sembunyikan Buronan

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Heriyanto Lingga
Editor: Cahyo Prayogo

Bagikan Artikel: