Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Swasembada Jagung Kementan, Benarkah?

Swasembada Jagung Kementan, Benarkah? Kredit Foto: Antara/Aditya Pradana Putra
Warta Ekonomi, Jakarta -

Surplusnya produksi jagung di nusantara yang diklaim Kementerian Pertanian terlihat kontradiktif dengan keluhan peternak terkait dengan naiknya harga pakan. Nasib peternak makin terjepit karena beralih ke gandum juga makin meningkatkan biaa produksi. 

Meliat fenomena ini, Anggota Komisi IV DPR, Zainut Tauhid Sa’adi pun mengaku heran. Karenanya, ia pun mengaku siap mengonfrontasi Kementerian Pertanian dengan pengusaha soal besaran produksi dan kebutuhan jagung yang sesungguhnya.

“Gagasan untuk mempertemukan menjadi salah satu solusi. Kami akan melakukan pengecekan lapangan terdahulu untuk memastikan mana yang benar. Karena laporannya surplus,” ujar Zainut. 

Pengecekan langsung dipandangnya perlu dilakuka, mengingat produksi jagung ini karena berhubungan dengan pakan untuk ternak. Dengan harga pakan yang meningkat, efeknya bakal merembet ke harga telur dan daging ayam “Kami akan mengkonfrontrasi antara dua data yang beda, mana yang benar. Kami ingin semuanya pasti. Nggak ingin hanya berdasarkan katanya. Karena ini juga akan berimbas ke harga-harga lain,” tutur Zainut.

Terpisah, Dewan Pembina Gabungan Pengusaha Makanan Ternak (GPMT) Sudirman menceritakan, saat ini peternak lebih banyak menggunakan gandum daripada jagung untuk bahan baku produksi. Langkah ini diambil karena memang kebutuhan jagung untuk produksi pakan tidak dapat terpenuhi.

"Pengusaha pakan membeli olahan gandum dari pabrik terigu. Ini mau tidak mau karena jagung tidak cukup," ujarnya, Selasa (25/9) malam.

Kebutuhan pengusaha pakan atas gandum bahkan tidak main-main. Sudirman mengatakan, secara teori hampir semua pengusaha pakan sudah menggunakan gandum sebagai pengganti jagung.

Ia pun berharap pemerintah menata ulang kebijakan terkait pakan dan bahan bakunya, khususnya jagung. Menurutnya, langkah yang bisa diambil pemerintah adalah menarik minat investor bisnis pascapanen untuk persoalan surplusnya jagung yang belum pasti ini.

"Jadi daripada mengklaim jagung surplus, lebih baik pemerintah melibatkan sebanyak-banyaknya pihak swasta. Jangan dikerjakan sendiri," ucapnya.

Ia mencontohkan, selama ini kementerian pertanian memberikan bantuan dalam bentuk alat produksi pertanian, benih dan pupuk. Sementara dryer atau pengering tidak ada.

"Jagung itu seperti padi juga. Kalau musim hujan butuh dryer. Nah kan tidak mungkin juga kasih dryer ke petani atau kelompok tani. Karena itu biaya operasional dan perawatan juga tinggi. Ini yang harus dipikirkan," tuturnya.

Jika memang stok tersedia, pengusaha ternak kata Sudirman sebenarnya lebih senang memakai jagung untuk bahan utama pakan ternak. Dengan memakai jagung, pakan mereka tidak perlu ditambahkan zat adittif untuk bisa membuat kaki ayam terlihat kuning.

"Masyarakat kita kan kalau milih daging ayam ingin yang kakinya kuning. Lalu kalau telur juga maunya kuningnya lebih terang. Nah itu kalau pakai jagung udah pasti kuning. Kalau pakai gandum, ayam kakinya putih, kita harus tambah zat aditif," tuturnya lagi.

Lari Ke Gandum

Padahal harga zat adittif tambahan agar kaki ayam menjadi kuning harganya cukup mahal. Inilah yang membuat harga pakan melambung. "Kan itu harus foodgrade. Kalau zat asal-asalan, kan tidak mungkin," jelasnya.

Sebelumnya, Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas mengungkapkan, impor gandum yang melonjak tinggi dari tahun 2016 seakan menjadi substitusi dari dilarangnya impor jagung lewat Permentan Nomor 57 Tahun 2015 tentang Pemasukan dan Pengeluaran Bahan Pakan Asal tumbuhan ke dan dari Wilayah Indonesia.

Pada tahun 2016, impor gandum diketahui naik 3,1 juta ton dibandingkan tahun 2015. Di sisi lain menurut data UN Comtrade impor jagung pada tahun 2016 turun 2,1 juta ton, merosot dari 2015 sebesar 3,3 juta ton menjadi 1,1 juta ton pada 2016.

Melambungnya volume impor gandum, Dwi Andreas menjelaskan, tak lain masuk dalam kategori gandum untuk pakan. Di mana gandum jenis non pangan ini baru muncul setelah adanya pembatasan impor jagung pada tahun 2016.

“Sekarang ini masih sampai 3 juta ton tiap tahunnya gandum untuk pakan yang sebelum tahun 2016 sama sekali tidak ada. Sangat kecil komponen gandum untuk pakan itu sebelumnya,” jelasnya. 

Untuk diketahui, di tahun 2015 nilai impor dari 7,41 juta gandum yang masuk Indonesia sebesar US$2,08 miliar. Untuk tahun yang sama, nilai impor sebanyak 3,27 juta ton jagung hanya US$696,65 juta. Artinya, harga gandum bisa lebih mahal dua kali lipat dibandingkan gandum.

“Harganya lebih mahal gandum. Untuk pakan, memang lebih bagus jagung," ujarnya lagi.

Kebergantungan membuat pakan ternak dari jagung masih berlangsung sampai kini. Ini terlihat dari masih derasnya impor gandum di 2018. Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), impor gandum dari Januari-Juni 2018 sudah mencapai 4,53 juta ton. Nilainya sendiri menyentuh US$1,13 miliar.

Mahalnya harga gandum ini pula, menurut Dwi Andreas, yang membuat harga pakan tidak terkendali di sepanjang tahun ini. Yang pada akhirnya membuat harga daging ayam dan telur pun melaju kencang.

“Pakan itu tahun 2018 ini  sudah naik 3 kali. Satu tahun sudah naik tiga kali sampai Agustus kemarin. Bisa dibayangkan, kalau pakan naik, bagaimana harga daging ayam sama telur nggak naik. Nggak mungkin. Orang marginnya rendah mereka,” tandasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Annisa Nurfitri

Bagikan Artikel: