Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Paceklik Mulai Menghantui Sektor Pangan

Paceklik Mulai Menghantui Sektor Pangan Kredit Foto: Antara/Yulius Satria Wijaya
Warta Ekonomi, Jakarta -

Kemarau panjang yang terjadi di sebagian besar wilayah Indonesia telah menyebabkan dampak kekeringan bagi kebutuhan air bersih masyarakat maupun kebutuhan air bagi tanaman petani, khususnya tanaman pangan seperti padi dan jagung. Sentra pangan Indonesia yang tersebar di beberapa provinsi pun tak luput dari ancaman paceklik ini.

Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, meskipun kondisi musim kemarau masih terbilang normal, akan tetapi bencana kekeringan tetap melanda beberapa tempat di wilayah Indonesia.

“Khususnya di Jawa dan Nusa Tenggara. Kemarau menyebabkan pasokan air berkurang, debit sungai menurun, tinggi muka air di danau dan waduk menyusut. Sumur kering sehingga masyarakat mengalami kekurangan air,” kata Sutopo, Minggu (30/9). 

Sutopo menyebut kekeringan telah melanda 11 provinsi yang terdapat di 111 kabupaten/kota, 888 kecamatan, dan 4.053 desa yang notabene diantaranya adalah daerah-daerah sentra beras dan jagung, seperti Jatim, Jateng, Jabar, Sulsel, NTB, Banten, Lampung, dan beberapa provinsi lainnya.

Berdasarkan studi Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI), sebanyak 39,6% dari 14 kabupaten yang merupakan sentra padi mengalami penurunan produksi di kemarau panjang ini. Penurunannya bahkan tidak tanggung-tanggung, mencapai 39,3%.

Turunnya produksi pada musim kemarau sejatinya bukan hanya terjadi di tahun ini. Setidaknya berdasarkan pengamatan AB2TI selama delapan tahun terakhir, memang selalu terjadi penurunan produksi padi tiap kali musim kemarau menerjang.

“Kalau basah biasanya produksi padi meningkat. Kalau kering, biasanya produksi padi menurun,” kata Ketua AB2TI Dwi Andreas.

Apabila kemarau panjang yang diperkirakan BMKG benar adanya, Andreas menyatakan, musim tanam padi pun akan mundur dibandingkan waktu normal. Untuk diketahui, biasanya siklus tanam di musim hujan dimulai pada bulan Oktober hingga Desember. 

Namun dengan kondisi kemarau tahun ini, dimulainya musim tanam bisa mundur sebulan menjadi November. Ini tentunya akan membuat panen padi menjadi terlambat dibandingkan waktu normal. Pada akhirnya, stok beras nasional lah yang akan berkurang untuk menutupi produksi yang telat.

“Kalau musim tanamnya mundur artinya, katakanlah kalau mundur satu bulan, berarti kan stok yang ada akan terkuras 2,5 juta ton lagi,” ujarnya.

Adapun data BNPB menyebutkan bahwa kekeringan telah memberikan dampak bagi 4,87 juta jiwa masyarakat. Masyarakat mengalami kekurangan air bersih sehingga harus mencari air ke sumber-sumber air di tempat lain. Sebagian juga harus membeli air bersih dan menggantungkan pada bantuan air bersih.

Sebagian besar kekeringan diterangkannya melanda wilayah Jawa dan Nusa Tenggara. Beberapa daerah yang mengalami kekeringan cukup luas itu adalah Provinsi Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, NTB, NTT, dan Lampung.

Adapun di Provinsi Jawa Barat, kekeringan terjadi di 22 kabupaten/kota yang meliputi 165 kecamatan, 761 desa, dan berdampak pada 1,13 juta penduduk mengalami kekurangan air bersih. Di Jawa Tengah, sebanyak 854 ribu jiwa penduduk terdampak kekeringan yang terdapat di 28 kabupaten/kota, 208 kecamatan dan 1.416 desa.

Di Provinsi Nusa Tenggara Barat, sebanyak 1.23 juta jiwa penduduk terdampak kekeringan yang berada di 9 kabupaten/kota, 74 kecamatan, dan 346 desa.

Begitu juga di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Kekeringan berdampak pada sekitar 866 ribu penduduk yang tersebar di 22 kabupaten/kota, 254 kecamatan dan 896 desa. Sedangkan di Yogyakarta, kekeringan terdapat di 3 kabupaten/kota, 21 kecamatan, dan 25 desa yang menyebabkan sekitar 132 ribu penduduk terdampak.

“Daerah-daerah yang mengalami kekeringan saat ini adalah daerah-daerah yang hampir setiap tahun terjadi kekeringan. Masih ada beberapa daerah lagi sedang diproses pendataan kekeringan.” katanya.

Ironisnya, kemarau di beberapa daerah ini bukan hanya berimbas pada kekeringan semata. Pertanian juga terkena imbas.

Dikatakan Sutopo, banyak lahan pertanian mengalami puso atau rusak. Walaupun hal ini tidak berdampak secara signifikan, namun kasus ini harus juga menjadi sorotan. Sebab jika pertanian mengalami puso, tentu hal ini sangat berpengaruh dengan keadaan ekonomi masyarakat setempat

“Ini sangat berpengaruh terhadap ekonomi masyarakat selain mereka harus membeli air, masyarakat, menyewa pompa, dan sebagainya. Bayangkan, dalam kondisi ini petani harus mengeluarkan biaya tambahan Rp800 ribu untuk sewa pompa air dan membeli solar guna mengaliri sawahnya,” jelasnya.

Selain itu, sebagian petani katanya juga harus melakukan modifikasi pompa air dengan mengganti bahan bakar solar dengan gas 3 kg untuk dapat menghemat biaya Rp100 ribu-Rp150 ribu.

Disebutkan Sutopo, selama daerah aliran sungai tidak di tata dengan baik, konservasi tanah dan air tidak diindahkan, otomatis mata air dan sumber air semakin berkurang. Kemudian, masih adanya pembuangan limbah dan sampah ke sungai-sungai secara otomatis akan memerosotkan kualitas air di beberapa daerah.

“Selama masalah ini tidak ditangani, defisit air atau kekeringan akan semakin meluas,” ucapnya.

Hal senada disampaikan oleh Kepala Pusat Layanan Iklim Terapan Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Guswanto. Dia mengatakan jika musim kemarau tahun ini mempengaruhi sektor pertanian, khususnya di sentra penghasil beras yang mengandalkan sawah tadah hujan.

Guswanto menjelaskan, kondisi iklim yang sangat beragam variabilitas dan anomalinya membuat iklim Indonesia semakin sulit untuk diprediksi.

Saat ini 60% sampai dengan 70% wilayah di Indonesia masih mengalami musim kemarau. Selama kurun waktu tiga tahun 2015-2018 bulan September merupakan puncak musim kemarau. Di mana tahun 2015 merupakan kemarau yang sangat kering, dan di tahun 2018 lebih kering dibandingkan dengan tahun 2017-2018.

"Jelas sangat berpengaruh terhadap sektor pertanian yang mengandalkan hujan,” katanya, Kamis (27/9).

Dijelaskannya, berdasarkan monitoring yang dilakukan BMKG saat ini, beberapa daerah di Indonesia yang masih mengalami kemarau antara lain, Nusa Tenggara Timur (NTT), Nusa Tenggara Barat (NTB), Bali, Jawa, Sumatera Selatan, serta Jawa Tengah. BMKG memprediksi bahwa musim kemarau masih akan melanda sebagian wilayah Indonesia hingga bulan Oktober mendatang.

Baca Juga: Imigrasi Depak WN Turki dari Bali gegara Sembunyikan Buronan

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Annisa Nurfitri

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: