Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Ini Kata Profesor IPMI Soal Nilai Tukar Rupiah 15.000

Ini Kata Profesor IPMI Soal Nilai Tukar Rupiah 15.000 Kredit Foto: Ning Rahayu
Warta Ekonomi, Jakarta -

Pada peralihan bulan Agustus-September 2018 yang lalu, satu angka yang berasal dari pasar finansial dan menjadi sangat populer di Indonesia, yaitu Rp15.000. Pasalnya, angka tersebut tampak menjadi angka yang mempengaruhi psikologi masyarakat akibat gaduhnya perdebatan ekonomi yang dibumbui dengan isu politis. Hal ini diungkapkan Roy Sembel, pengusaha yang juga menjabat guru besar di IPMI Internasional Business School.

"Kurs dolar AS terhadap Rupiah yang selama 20 tahun terakhir sejak Mei 1998, yaitu saat kurs melonjak liar ke atas level Rp15.000/dolar AS telah berhasil “dijinakkan” di bawah Rp15.000/dolar AS, mulai kembali mendekati level psikologis Rp15.000 tersebut," beberapa waktu lalu, di Jakarta.

Di dunia medsos, menurut Roy, banyak orang awam yang mendadak merasa menjadi ekonom ahli kurs mata uang asing dengan berbagai argumen “copas" maupun buatan sendiri yang tidak jelas logikanya.

"Pertanyaannya, dari sisi teori ekonomi keuangan, sebenarnya apa faktor yang mempengaruhi pergerakan kurs valuta asing atau valas? Sebagai profesor di bidang keuangan dan investasi dan telah menggeluti bidang ini secara akademis dan praktis selama lebih dari 30 tahun, saya belajar bahwa faktor yang mempengaruhi pergerakan kurs mata uang sangat banyak dan beragam, serta terkait satu sama lain lintas waktu. Dalam bahasa media sosial, keadaan ini bisa dibilang “it’s complicated," ujar Roy.

Kendati begitu, Roy mengatakan, bahwa faktor yang mempengaruhi kurs valas ini bisa disederhanakan menjadi interaksi antara permintaan beli (demand, selanjutnya kita singkat sebagai D) dan penawaran jual (supply, selanjutnya kita singkat sebagai S) valas.

Logika ekonomi sederhananya menurut Roy, yaitu semakin banyak D suatu barang (termasuk valas) dibandingkan S-nya, kelangkaan barang tersebut membuat harga (kurs untuk valas) akan naik. Sebaliknya, semakin banyak S suatu barang (termasuk valas) dibandingkan D-nya, keberlimpahan barang tersebut membuat harga (kurs untuk valas) akan turun.

Kemudian untuk faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya D dan S Valas, Roy menilai banyak dan beragam. Namun faktor-faktor tersebut bisa disederhanakan dengan dikelompokkan menjadi faktor fundamental dan faktor persepsi risiko.

Faktor-faktor fundamental bisa mempengaruhi S dan D valas melalui dua pasar, yaitu pasar fmansial dan pasar barang/jasa. Faktor di pasar (inansiaL contohnya tingkat bunga relatif (luar negeri vs dalam negeri). Faktor di pasar barang/jasa, contohnya laju infiasi relatif (luar negeri vs dalam negeri) dan tingkat pendapatan relatif (luar negeri vs dalam negeri).

"Jika tingkat bunga di negara asing (misalnya AS) naik relatif terhadap tingkat bunga di dalam negeri, maka investasi di AS akan memberikan imbal hasil relatif lebih menarik. Akibatnya, investor akan mengalihkan investasinya dari Indonesia ke AS dengan menjual rupiah dan membeli dolar AS sehingga D dolar AS meningkat," papar Roy.

Dengan demikian, lanjut Roy, harga dolar AS meningkat. Dalam dua tahun terakhir ini, bank sentral AS (The Fed) secara agresif menaikkan tingkat bunga di AS, sehingga D terhadap dolar AS meningkat relatif terhadap banyak mata uang negara-negara lain termasuk Indonesia, sehingga kurs dolar AS menguat atau naik terhadap banyak mata uang lain termasuk rupiah.

Untuk mengimbangi kenaikan bunga di AS itu, terpaksa Bank Indonesia juga harus menaikkan tingkat bunga

Baca Juga: Meningkat 21 Persen, Bandara Ngurah Rai Layani 3,5 Juta Penumpang Hingga Februari 2024

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Ning Rahayu
Editor: Kumairoh

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: