Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Pengamat: Demi Tingkatkan Daya Saing, Sistem Pengajaran SMK Harus Diubah

Pengamat: Demi Tingkatkan Daya Saing, Sistem Pengajaran SMK Harus Diubah Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Revitalisasi SMK merupakan salah satu program yang dicanangkan oleh pemerintah yang kini menjabat. Dalam laporan yang disampaikan pada Selasa (23/10/2018), salah satu langkah yang diambil pemerintah dalam program tersebut adalah menjalin kerja sama dengan pihak industri agar dapat meningkatkan kualitas lulusan dari SMK. Namun, ada sedikit kekurangan yang dinilai pengamat dalam langkah tersebut.

Menurut Economist dari Institute for Development of Economics and Finance, Bhima Yudhistira, sinergi yang dibangun antara pihak SMK dan industri belum begitu kuat, porsi industri dalam mencetak lulusan siap kerja dinilai belum besar. Hasilnya, tak semua lulusan SMK dapat diserap industri-industri yang menjalin kerja sama dengan mereka.

"Sekarang ini, saya lihat kerja samanya belum terjalin dengan bagus. Baru dalam bentuk gentle agreement, pihak perusahaan dan SMK hanya menyepakati jumlah lulusan yang akan ditarik ke perusahaan, tidak ada kerja sama yang bersifat mengikat," jelas Bhima kepada Warta Ekonomi, Kamis (25/10/2018).

Salah satu bentuk kerja sama SMK dengan industri adalah Techno Park, tempat para siswa dapat melakukan praktik pembuatan dan pengembangan produk yang dibimbing oleh industri. Salah satu kota yang telah memiliki Techno Park adalah Bandung, yang bekerja sama dengan Telkom.

"Revitalisasi SMK dengan Techno Park itu bagus, tetapi keterlibatan dari industrinya harus lebih besar lagi. Techno Park bisa berkembang kalau ada user yang akan membimbing para siswa. Dia juga yang akan merekrut lulusan dari Techno Park untuk bekerja di perusahaannya. User itu harus berasal dari industri lokal di tempat Techno Park berada," papar Bhima.

Oleh karena itu, pihak SMK harus dapat menjalin kerja sama yang erat dengan industri di sekitar mereka. Salah satu caranya, dengan melibatkan para praktisi industri dalam kegiatan belajar para siswa.

Bhima berkata, "Jadi, 70% diisi teori dari guru SMK yang memenuhi kualifikasi dan bersertifikat. Sementara, 30% sisanya harus diisi oleh para praktisi dari industri, pengajarannya pun tak hanya di kelas. Langsung latihan di Balai Latihan Kerja (BLK). Kalau bisa, ikut program magang sebanyak mungkin untuk menambah pengalaman."

Ia khawatir jika sistem tersebut tidak segera diterapkan dan terus menggunakan sistem pengajaran saat ini, lulusan SMK bisa kehilangan daya saing dengan lulusan setingkat S-1. Padahal, justru lulusan SMK lah yang dididik untuk siap turun ke lapangan kerja.

"Bahkan, untuk saat ini tingkat pengangguran SMK, jumlahnya paling tinggi di Indonesia. Padahal mereka dididik untuk siap kerja, sehingga paling cepat adaptasinya dengan lingkungan kerja," bela Bhima.

Kalau sudah begitu, terciptalah "lingkaran setan", yakni kondisi saat individu yang masuk ke SMK kualitasnya tidak dapat berkompetisi untuk melanjutkan ke S-1. Lalu muncul jarak antara lulusan SMK dan S-1.

"Kalau sudah diperbaiki sistem pengajarannya, yang masuk SMK pasti generasi bagus dan saat lulus pun menghasilkan generasi yang bagus pula," ujarnya lagi.

Selain masalah pengajaran, perihal gaji untuk lulusan SMK disorot oleh Bhima. Menurutnya, perusahaan perlu menentukan standar gaji yang lebih tinggi untuk para jebolan SMK karena adaptasi kerja mereka lebih cepat dibanding lulusan S-1.

"Hal itu akan membuat orang-orang berlomba-lomba masuk SMK dan memunculkan kebanggaan tersendiri bagi para lulusannya. Kalau sudah begitu, kualitas lulusan yang tercipta akan bagus karena yang masuk orang-orang berpotensi," tambah Bhima.

Secara garis besar, faktor yang perlu diperhatikan dalam revitalisasi SMK adalah peran industri. Dengan begitu, lulusan SMK akan memiliki daya saing yang kuat dengan para lulusan dari tingkat pendidikan yang lebih tinggi. Cara lain adalah dengan menciptakan program magang berkualitas.

"Magang berkualitas dapat diciptakan dari kondisi kerja sama pihak sekolah dan pihak industri lokal, sehingga magang dilakukan sebagai kebutuhan untuk merekrut SDM, bukan hanya sebagai syarat kelulusan," ujarnya.

Contoh program yang mampu meningkatkan kualitas magang telah diterapkan di Singapura. Jadi, perusahaan menyisihkan 1% dari keuntungan untuk ditampung oleh pemerintah. Uang itu digunakan untuk membiayai sekolah kejuruan di sana, sehingga perusahaan di industri merasa bertanggung jawab dalam mendidik siswa-siswa tersebut agar bisa bekerja di perusahaannya. Jadi, tak perlu rekrutmen tambahan yang memakan biaya lagi.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Tanayastri Dini Isna
Editor: Rosmayanti

Bagikan Artikel: