Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Pembangunan Infrastruktur Pengaruhi Kondisi Rupiah saat Ini

Pembangunan Infrastruktur Pengaruhi Kondisi Rupiah saat Ini Kredit Foto: Antara/Muhammad Adimaja
Warta Ekonomi, Jakarta -

Pembangunan infrastruktur yang dilakukan pemerintah selama 4 tahun belakangan ternyata menjadi salah satu faktor yang memengaruhi kondisi rupiah saat ini. Hal tersebut disampaikan oleh pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Bhima Yudhistira, kepada Warta Ekonomi.

Menurutnya, pembangunan tersebut dilakukan tanpa memperhitungkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dari pemerintah sehingga akhirnya menggunakan utang luar negeri. Pada akhirnya, hal itu menyebabkan pembalikkan uang dalam bentuk bunga dan cicilan pokoknya menggerus devisa Indonesia karena kita mengonversikan pendapatan dari rupiah ke dolar Amerika.

“Selain itu, pembangunan  infrastruktur yang dilakukan juga tak melihat kondisi bahan bakunya. Akhirnya, yang terjadi adalah impor besi dan baja dalam jumlah besar. Bolong juga di defisit neraca perdagangannya, lalu permintaan rupiah turun dan permintaan valasnya akan naik,” papar Bhima.

Kemudian, Bhima juga menambahkan, diperlukan prioritas dalam membangun infrastruktur. Tanpa prioritas, pembangunan hanya akan menggerus devisa Indonesia.

“Sekarang ada 200 Proyek Strategi Nasional. Dari dulu kami (pengamat ekonomi) sudah bilang, pembangunan infrastruktur itu bagus, tetapi harus ada prioritasnya. Jadi, di tahun 2016 ketika mulai terjadi lonjakkan impor dari besi dan baja, pemerintah seharusnya melakukan evaluasi dan menghentikan beberapa proyek. Sekarang, kontrak telanjur berjalan, besi, baja, mesin, dan peralatan listrik sudah diimpor,” lanjut Bhima.

Dengan terjadinya hal itu, Bhima menilai, kini pemerintah seolah sibuk untuk menangani masalah-masalah temporer. Sementara, mereka lupa untuk mengatasi masalah-masalah bersifat struktural yang sudah terlihat sejak 2015. Salah satunya, defisit transaksi berjalan, padahal sebelumnya sempat mengalami surplus.

“Kemudian, untuk mengendalikan impor non-migas, pemerintah hanya menggunakan Pph 22, padahal itu hanya 5,5% terhadap total impor nonmigas. Mengapa yang 10 barang impor paling tinggi tidak dilakukan pemangkasan?” ujar Bhima.

Selain itu, masalah infrastruktur lainnya terletak pada pemanfaatannya. Bhima mengatakan, meskipun infrastruktur sudah dibangun, ketimpangan di daerah justru mengalami kenaikan. Menurutnya, hal itu terjadi karena kemungkinan infrastruktur hanya digunakan oleh masyarakat kota.

“Berapa banyak orang desa yang bisa menikmati jalan tol? Karena jalan tol kan harus mengeluarkan uang. Jangan-jangan, terjadi fenomena elite capture, yakni dana desa hanya dikuasai elit-elit di desa, keluarga-keluarga dari kepala desa sehingga infrastruktur tak dapat dinikmati masyarakat miskin," kata Bima.

Jika ada yang berkata, ‘infrastruktur butuh waktu’, Bhima berujar, sampai kapan? Berapa lama lagi masyarakat harus berpuasa untuk melihat hasil infrastruktur, begitu ujarnya. Menurutnya, yang sekarang sedang dibangun saja, multiple effect-nya tidak seberapa.

“Pemabangkit tenaga listrik yang sebagian sudah berjalan, mubazir. Saya baru dapat laporan, Januari hingga September ini konsumsi listrik pertumbuhannya tidak sampai 5%. Siapa yang harus menanggung itu?” lanjut Bhima.

Menurutnya, terdapat kesalahan perencanaan dalam pembangunan infrastruktur. Yang kedua, infrastruktur tersebut ternyata hanya dinikmati kelas menengah ke atas, dan yang ketiga, infrastruktur yang diharapkan menurunkan biaya logistik malah tidak berdampak signifikan.

“Masih banyak truk yang lewat jalan-jalan arteri, walaupun sudah dibuat jalan tol. Bisa jadi, bukan jalan tol yang dibutuhkan, melainkan jalan arterinya yang harus diperluas supaya lebih tepat sasaran. Masih ada miss-match infrastruktur, realisasinya belum tepat sasaran," papar Bhima.

Oleh karena itu, ia menyarankan agar pemerintah mengevaluasi kembali proyek-proyek strategis nasional Indonesia. Menurutnya, yang lebih dibutuhkan sekarang adalah pembangunan kawasan industri serta sarana pendukung di sekitarnya. Sama seperti di China, mereka menerapkan pembangunan yang mendorong industrialisasi.

“Kalau pembangunannya tidak nyambung maka akan muncul pertanyaan, untuk apa sebenarnya infrastruktur itu dibangun?” tutup Bhima.

Baca Juga: Imigrasi Depak WN Turki dari Bali gegara Sembunyikan Buronan

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Tanayastri Dini Isna
Editor: Kumairoh

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: