Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

'Indonesia Sehat' Terkendala Pelayanan di Bawah Standar

'Indonesia Sehat' Terkendala Pelayanan di Bawah Standar Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Kendati sudah berjalan lima tahun, sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang masyarakat umum kenal dengan nama BPJS Kesehatan tersebut terus menyisakan pekerjaan rumah, antara lain soal pelayanan kepada pasien.

Menurut Enozthezia Xynta, hal itu terjadi karena tenaga kesehatan seolah dipaksa untuk memberikan layanan sesuai bujet yang diberikan BPJS Kesehatan.

"Sebetulnya, bukan dokter yang memberikan pelayanan di bawah standar, tapi memang aturan yang diterapkan BPJS," kata dokter anestesi yang pernah menulis surat terbuka untuk Presiden Jokowi tentang rasa kecewanya terhadap pelaksanaan BPJS Kesehatan di Jakarta, Selasa (30/8/2018).

Eno mencontohkan, sebelum ada BPJS Kesehatan, biaya operasi cesar berkisar di angka Rp6 juta. Saat ini, dengan diterapkan sistem kesehatan tersebut, pasien membayar Rp4,3 juta.

"Kami (dokter) terkurung dengan harga yang sudah ditetapkan," ujarnya.

Masih menurut Eno, jika biaya yang dikeluarkan lebih dari apa yang sudah diatur BPJS Kesehatan, biasanya rumah sakit atau dokter yang bersangkutan harus menanggungnya.

"Jasa dokternya lah yang dipotong dan kadang jasa visit kami enggak dihitung," katanya.

Ini salah satu penyebab pelayanan menjadi sub-standar. Padahal, lanjut Eno, untuk dokter umum di poliklinik misalnya, jasa dokter dan sebagainya hanya dibayar Rp10 ribu.

Memang ada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2018 yang menyebutkan bahwa pasien bisa membayar tambahan dari pelayanan yang diberikan oleh BPJS Kesehatan. Namun, menurut Eno, ini menjadi masalah baru. Pertama, ada risiko, dokter akan dilaporkan. Risiko lain, dokter akan ditegur BPJS. Kemungkinan terakhir, tentu masyarakat akan memandang profesi dokter menjadi hina.

"Kami tidak akan mengambil risiko-risiko itu," kata Eno.

Perlakuan sub-standar ini bukan hanya dalam sisi pelayanan, tapi juga pemberian obat yang cenderung under treatment. Ada yang disebut Formularium Nasional (Fornas), yakni daftar obat yang secara empirik diperlukan masyarakat Indonesia.  

Hasbullah Thabrany, guru besar Fakultas Kesehatan Masyarakat UI, menjelaskan bahwa Fornas ini mendaftar lebih dari 1.000 kemasan obat dalam segala bentuk.

"Ini isinya adalah obat esensial. Obat semua penyakit sudah ada di situ," jelasnya.

Namun, tidak ada merek dagang obat yang tercantum dalam Fornas. Jadi, rumah sakit dan dokter dipersilakan untuk memberikan mereknya. Dengan e-catalogue saat ini, membuat industri farmasi bersaing ketat.

"Bahkan ada yang banting harga untuk mendapatkan kontrak," katanya.

Perilaku banting harga gila-gilaan ini diikuti dengan ketidakmampuan industri tersebut untuk menyuplai obat.

"Akibatnya, obat tidak tersedia, meski dengan harga yang wajar," ujarnya.

Sementara itu, Kuntjoro Adi Purjanto, Ketua Umum Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (Persi), menjelaskan bahwa rumah sakit (RS) di Indonesia sudah berbenah diri sejak lama. Penolakan pasien pun hingga saat ini sudah hampir tidak ada.

"Sekarang sudah termitigasi dengan baik tanpa pandang bulu selama sumber dayanya tersedia," jelasnya.

Kuntjoro membantah adanya perilaku under treatment RS terhadap pasien. Memang, kata Kuntjoro, potensi untuk under treatment cukup lah besar.

"Bagaimana kalau obatnya tidak ada? Bayar obat enggak bisa," katanya.

Ada beberapa RS yang berpotensi melakukan keterlambatan pembayaran obat. Jika demikian, distributor dan industri obat akan terkunci secara computerized.

"Dia enggak bisa mengeluarkan barang dari gudangnya, meski pemiliknya punya niat membantu rumah sakit," ujarnya.

Kesehatan keuangan setiap RS tentu berbeda. Kekuatan cadangan keuangan untuk membayar obat pun makin hari, makin tipis. Dan pada titik ekuilibrium tertentu, RS tidak bisa membayar obat, karyawan, dan dokter.

"Jadi, under treatment itu sebagai akibat, jika itu memang benar terjadi," pungkasnya.

BPJS sendiri melalui Kepala Hubungan Masyarakat, Iqbal Anas Ma'ruf menyatakan bahwa Fornas ditetapkan Kementerian Kesehatan sebagai acuan untuk penyediaan obat yang masuk dalam program JKN.

"Memang harus dikendalikan. Karena jika dibiarkan liar, nego harga obat dengan pabrikan akan sulit," katanya.

Tim Fornas, kata Iqbal, sudah terpilih dari kalangan farmakologi. Tentu penyusunan Fornas melalui proses yang panjang. Jika memang keluhannya, dokter tidak memiliki keleluasaan dalam memberikan obat, maka, bagi Iqbal, logika ini justru terbalik.

"Dokter kan tidak bisa menulis merek obat, dia hanya memberikan bahan aktifnya," jelasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Yosi Winosa
Editor: Rosmayanti

Bagikan Artikel: