Bank Indonesia (BI) menyatakan, tiga sektor industri, yakni perdagangan, konstruksi, dan pertambangan menjadi penyumbang kredit macet tertinggi di perbankan, di mana masing-masing rasio kredit bermasalah atau Non-Performing Loan (NPL) pada Agustus sebesar 4,29%, 4,20%, dan 4,11%.
"Sementara secara year to dateĀ (ytd), nominal NPL terutama bersumber dari sektor lain-lain (konsumsi RT) sebesar 4%, perdagangan sebesar 3%, jasa dunia usaha sebesar 2,5%, dan konstruksi sebesar 2,8%," kata Direktur Departemen Kebijakan Makroprudensial BI, Retno Ponco Windarti dalam Seminar Nasional Peran Strategis BI dan LPS dalam Memelihara Stabilitas Sistem Keuangan Indonesia, Medan, Sumatera Utara, kemarin, Kamis (1/11/2018).
Meski demikian, rasio NPL perbankan secara umum masih terjaga. Tercatat pada Agustus 2018, rasio NPL berada di angka 2,74%, lebih rendah dibandingkan Juli 2018 yang sebesar 2,73% pada Juli 2018.
Risiko kredit bermasalah (NPL) di sebagian besar wilayah Indonesia terjaga pada level yang sehat, yakni tidak melebihi 5%. NPL yang masih tercatat cukup tinggi berada di wiayah Kalimantan Timur sebesar 5,7%.
"Hal tersebut sejalan dengan peningkatan risiko kredit akibat menurunnya kinerja di sektor pertambangan," ungkap dia.
Lalu, di Kepri sebesar 3,8%, Jambi sebesar 3,2%, Papua sebesar 3,9%, dan Sulawesi Selatan sebesar 4,8%. Sementara rasio NPL di DKI Jakarta masih berada di angka 2,1%.
Direktur Eksekutif Klaim dan Resolusi Bank LPS, Ferdinand Dwikoraja Purba menilai rasio NPL yang berada di kisaran 2,7% menunjukkan bahwa NPL perbankan masih terkendali.
"NPL sebesar 2,7% masih terkendali, diikuti kualitas tata kelola regulasi dan pengawasan sektor perbankan yang prudent," tambah Ferdinand.
Baca Juga: Tegas! Bule Inggris Eks Napi Narkoba Diusir dari Bali
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Fajar Sulaiman
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait: