Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Seharusnya Bisnis Jadi Panglima

Seharusnya Bisnis Jadi Panglima Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Perhatian pemerintah terhadap industri kelapa sawit (CPO) sungguh membesarkan hati. Bayangkan, dalam acara 14th Indonesian Palm Oil Conference and 2019 Price Outlook “Palm Oil Development : Contribution to SDGs”, hadir Presiden Jokowi, Menko Perekonomian Darmin Nasution, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita dan Menteri Perencanaan Pembangunan (Bappenas) Bambang Brojonegoro. "Hadirnya presiden dan tiga menteri menunjukan betapa pentingnya acara ini," kata Mendag.

Ketua Umum Gapki (Gabungan Pengusaha Sawit Indonesia) tentu mensyukuri situasi. "Sekarang pemerintah full support terhadap industri sawit," ujar Joko Supriyono dalam percakapan dengan beberapa wartawan senior di Westin Hotel, Nusa Dua, Bali, belum lama ini.

Kendati demikian, dari berbagai ceritanya, banyak keadaan yang bisa diperbaiki di masa depan. "Kita harus memperhatikan bahwa hubungan Indonesia dengan berbagai negara situasinya berbeda-beda," ujar Joko.

Dia lantas menceritakan hubungan antara Indonesia dan Pakistan, salah satu pasar CPO besar bagi Indonesia.  "Kami sudah membangun hubungan ini belasan tahun," cerita Joko.

Naik-turun hubungan dagang Indonesia Pakistan ini menarik untuk dicermati. Misalnya, bagaimana di masa lalu Indonesia menggoalkan bilateral trade agreement, hanya karena Indonesia tidak mau mengimpor jeruk Pakistan. "Padahal nilai jeruk tersebut kecil sekali dibanding dengan ekspor CPO (plus yang lainnya -- Red.) kita," cerita Joko. Alasan pemerintah waktu itu adalah untuk melindungi petani jeruk lokal.

Setelah bertahun-tahun macet, akhirnya Indonesia mengalah, memberikan kesempatan dua bulan dalam setahun jeruk Pakistan boleh diimpor. "Tentu hal ini menguntungkan produk CPO, dan ekspor kami terus berkembang," ujarnya.

Sayangnya, negara tetangga Malaysia lebih lincah. Mereka kini berhasil menggolkan free trade agreement dengan Pakistan, sehingga volume ekspor CPO-nya (yang merupakan pesaing berat Indonesia -- Red.) terus meningkat. "Walaupun ekspor Indonesia ke Pakistan, tapi pangsa pasar kami turun," kata Joko.

Yang mengkhawatirkan Joko sekarang adalah perdagangan dengan India. Sebagaimana diketahui, India mengenakan bea masuk 44% bagi CPO Indonesia. Sementara lagi-lagi Malaysia sudah berhasil menjalankan Free Trade Agreement (FTA) dengan India. "Akibatnya Malaysia mendapatkan potongan tarif masuk," cerita Joko.

Akibatnya, lanjut dia, pangsa pasar Indonesia di India merosot dari 80% menjadi sekitar 72%. "Dalam konteks ini, Indonesia harus memikirkan langkah jangka pendek dan jangka panjang," saran Joko.

Untuk jangka pendek, Joko menyarankan agar pemerintah menurunkan pungutan (levy) terhadap produk sawit yang diekspor. Saat ini ada tiga jenis pungutan ekspor, yakni: komoditi, kemasan, dan produk hilir dengan tarif yang berbeda-beda. Sebuah usul yang sekarang sedang diolah Pemerintah sejalan dengan turun harga sawit.

Yang harus jadi perhatian adalah gerakan Malaysia yang lagi-lagi sudah berhasil menerapkan FTA. Akibatnya tarif buat Malaysia akan turun. "Pangsa pasar Indonesia di India sendiri sekarang sudah turun dari 80% ke 72%, walaupun volume meningkat," cerita Joko.

Lalu, poin apa yang penting dari semua ini?

"Kita harus punya mind set dagang sebagai panglima," kata Joko. Artinya, lanjut Joko, kita harus berpikir terintegrasi dengan mementingkan kepentingan dagang Indonesia sebagai tujuan utama. "Kita harus berani mengorbankan hal kecil untuk kepentingan yang lebih besar," tegas Joko.

Hmm, pemikiran yang briliant. Walaupun di lapangan belum tentu gampang mengingat negara punya kepentingan politik.

Di titik ini saya teringat cerita Chatib Basri, mantan Menkeu RI di era Presiden SBY. Meburut Chatib, sebenarnya banyak komoditi yang bisa kita ekspor dan Indonesia akan diuntungkan. "Karena harganya lebih murah, membuat konsumen dalam negeri diuntungkan. Kalau itu bahan baku, bisa membuat produk dalam negeri lebih murah," cerita Chatib.

Selanjutnya tinggal ada mekanisme subsidi kepada produk dalam negeri yang kalah bersaing bersaing dari produk impor tersebut. "Masalahnya, hal ini sering dimanfaatkan para politikus untuk menekan pemerintah," tambahnya.

Maklum, kata "anti impor", "menggunakan produk dalam negeri" sangat sakti untuk menarik perhatian masyarakat. Sialnya, jargon-jargon ini sering dipakai terlepas dari konteksnya.

Jadi?

Mungkin kita butuh waktu dan butuh literasi kecerdasan. Kalau kita mampu merubah mind set dan berfikir terintegrasi, saya yakin strategi dagang (bisnis) sebagai panglima akan menguntungkan Indonesia. Dan, kita punya sawit untuk memulainya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Muhamad Ihsan
Editor: Irfan Mualim

Bagikan Artikel: