Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

OJK Lindungi Masyarakat dari Keganasan Fintech Ilegal

OJK Lindungi Masyarakat dari Keganasan Fintech Ilegal Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Seseorang sebut saja “S” dipecat dari pekerjaanya karena seorang debt collector perusahaan pinjaman online menagih pinjaman kepada atasannya. Sementara “D” terpaksa mengundurkan diri dari pekerjaannya karena malu, setelah perusahaan pinjaman online menagih kepada rekan sekantor. Ada lagi “VA” ditalak cerai suami karena perusahaan pinjaman online menagih hutangnya kepada mertuanya. 

Dan masih banyak kasus korban pinjaman online lainnya yang lebih miris, seperti upaya menjual ginjal dan upaya bunuh diri akibat terlilit hutang dan bunga pinjaman yang sangat besar. Semua itu terjadi akibat cara penagihan yang tidak patut, bahkan ada yang yang diminta untuk menari telanjang di rel kereta agar pinjamannya bisa lunas. Dan ada pula yang diancam akan dibunuh karena belum bisa melunasi pinjamannya. 

Demikian sejumlah aksi keganasan perusahaan pinjaman online (pinjol), seperti dikutip tribunnews.com dari LBH Jakarta. Akibat banyaknya keluhan menyangkut pinjaman online, LBH Jakarta pun membuka posko pengaduan yang dibuka mulai 4 November hingga 25 November. Pengaduan dapat dilakukan secara online dengan mengisi formulir yang dibuka melalui situs bantuanhukum.or.id. 

Sejak posko pengaduan itu dibuka, hingga 7 November 2018 LBH Jakarta telah menerima sebanyak 300 aduan. Berdasarkan pengaduan tersebut, didapati temuan awal berbagai persoalan yang dikeluhkan seperti penagihan dengan cara mempermalukan, memaki, mengancam, memfitnah, bahkan dalam bentuk pelecehan seksual. Penagihan juga dilakukan kepada seluruh nomor kontak yang ada di ponsel peminjam seperti atasan kerja, mertua, hingga teman sekolah. 

Keluhan lainnya adalah bunga pinjaman yang terlalu tinggi, pengambilan data pribadi di telepon seluler peminjam, dan penagihan tanpa kenal waktu. Sementara perusahaan pinjaman online sendiri tidak transparan seperti alamat kantor yang tidak jelas, nomor pengaduan yang tidak ada, dan aplikasi pinjaman online yang berganti nama tanpa pemberitahuan kepada konsumen. 

Menanggapi banyaknya keluhan tersebut, Ketua Satuan Tugas Waspada Investasi Otoritas Jasa Keuangan, Tongam L Tobing menduga tindakan semena-mena itu dilakukan oleh perusahaan perusahaan financial technology (fintech) ilegal karena tidak terdaftar di OJK. Hingga saat ini diketahui ada 407 perusahaan fintech ilegal yang perlu diwaspadai karena berpotensi merugikan masyarakat. 

Sejak menjamurnya perusahaan fintech atau biasa disebut pinjol, OJK sebetulnya telah mengeluarkan aturan berupa Peraturan OJK No. 77/POJK.01/2016, tentang layanan pinjam meminjam uang berbasis teknologi informasi. Dimana melalui peraturan tersebut perusanaan fintech harus terdaftar dan berizin. Namun hingga Agustus 2018, baru ada 1 perusahan berizin, dan 63 perusahaan terdaftar. 

Adapun syarat untuk mengajukan pendaftaran, perusahaan fintech wajib memiliki modal yang disetor sebesar Rp1 miliar. Kemudian rutin, melakukan pelaporan secara berkala setiap tiga bulan sekali tentang jumlah pemberi pinjaman, kualitas pinjaman, dan kegiatan yang dilakukan setelah terdaftar selama satu tahun.

Bagi yang belum berizin, setelah mendapatkan status terdaftar, perusahaan diwajibkan mengajukan permohonan izin sebagai penyelenggara fintech dalam jangka waktu paling lambat satu tahun sejak memperoleh status terdaftar di OJK. Bagi perusahaan yang mengajukan izin, wajib memiliki modal yang disetor sekitar Rp2,5 miliar. 

Sebelum memperoleh akses pendaftaran diri, seluruh pelaku sektor jasa perusahaan digital di Indonesia diwajibkan untuk mencatatkan diri ke OJK. Pencatatan ini sendiri sejalan dengan peraturan OJK No.13/POJK 02/2018, mengenai inovasi keuangan digital di sektor keuangan yang terbit 16 Agustus 2018. 

OJK menetapkan batas akhir pengajuan pencatatan diri untuk gelombang pertama hingga 15 Desember 2018. Selanjutnya, perusahaan-perusahaan yang sudah tercatat akan menjalani proses regulatory sandbox yang akan menghasilkan tiga keluaran, di antaranya direkomendasikan, perlu menjalani perbaikan, atau tidak direkomendasikan sama sekali.

Dewan Komisioner OJK, Nurhaida menjelaskan, regulatory sandbox tak ubahnya sebuah rahim dari kelahiran fintech. Di sana perusahaan rintisan di bidang fintech akan diuji terlebih dahulu seperti apa model bisnisnya, produk dan layanannya, serta teknologi yang digunakan. Tidak hanya itu, OJK juga akan melihat manajemen risiko dan kemampuan self-assessment yang dilakukan oleh perusahaan fintech. Selanjutnya fintech harus memperhatikan perlindungan data nasabah dan bisnis mereka. 

Regulatory sandbox ini menjadi innovation hub dan yang perlu menjadi fokus dari industri keuangan digital ialah terkait transparansi, keandalan, dan kerahasiaan atau keamanan data,” ujar Nurhaida, seperti dikutip tirto.id. 

Selain menjadi instrumen untuk menguji perusahaan fintech dari berbagai aspek, OJK juga akan mempertimbangkan manfaat yang ditawarkan. Di regulatory sandbox itu akan bisa terlihat apakah fintech memenuhi kriteria atau tidak. Dan akan terlihat pula ruang lingkup bisnisnya seperti apa. 

Melihat upaya yang dilakukan OJK tersebut nampaknya akan melahirkan perusahaan fintech yang bermanfaat bagi masyarakat. Status terdaftar membuat fintech tak bisa lagi semena-mena kepada konsumen, sebab kalau tidak izin tidak akan dikeluarkan. Masih banyaknya fintech ilegal yang berkeliaran di luar sana, diharapkan OJK dapat mengambil tindakan tegas agar fintech tak lagi ganas.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Agus Aryanto
Editor: Vicky Fadil

Bagikan Artikel: