Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Baiknya, Jokowi Ambil Langkah Progresif Terkait Pelemahan Harga CPO

Baiknya, Jokowi Ambil Langkah Progresif Terkait Pelemahan Harga CPO Kredit Foto: WE
Warta Ekonomi, Jakarta -

Dalam sepekan terakhir, harga CPO menuju pelemahan 4% lebih. Bahkan, apabila ditelusuri secara historis, harga CPO kini belum beranjak dari level terendahnya lebih dari 3 tahun terakhir, atau sejak awal September 2015, karena itu diharapkan ada langkah progresif dari Pemerintahan Joko Widodo agar kejadian ini tidak berdampak pada krisis ekonomi di Indonesia.

Pelemahan harga CPO masih didorong oleh proyeksi peningkatan stok minyak kelapa sawit di Malaysia dan Indonesia, serta koreksi harga minyak mentah dan minyak kedelai. Tidak hanya dari Malaysia, produksi minyak kelapa sawit di Indonesia juga diproyeksikan meningkat hampir sebesar 9% MtM pada bulan September, menurut data dari Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI).

Seiring produksi yang melambung tinggi, GAPKI melaporkan bahwa stok minyak kelapa sawit di Indonesia mengalami peningkatan sebesar 0,2% MtM ke angka 4,6 juta ton di periode tersebut. Sebagai informasi, Indonesia dan Malaysia adalah produsen dan eksportir CPO terbesar di dunia. Peningkatan produksi dan stok dari dua negara tersebut jelas akan membenani harga.

Selain itu, harga CPO terpengaruh oleh koreksi harga minyak mentah dunia. Kemarin, harga minyak masih mentah jenis light sweet yang menjadi acuan di Amerika Serikat (AS) terkoreksi 1,62%, sementara harga brent yang menjadi acuan di Eropa amblas 1,97%.

Kendatinya, harga CPO juga dipengaruhi koreksi harga kedelai kontrak acuan di Chicago Board of Trade (CBoT) yang turun 0,64% pada perdagangan overnight. Hingga pukul 12.39 WIB hari ini, harganya masih tercatat terkoreksi sebesar 0,36%. Ternyata harga kedelai pun mempengaruhi harga CPO, apabila kedelai mengalami penurunan harga, itu pun akan berlaku kepada harga CPO.

Jatuhnya harga CPO dunia dalam tiga tahun terakhir merupakan ancaman bagi sektor usaha perkebunan sawit. Dampaknya tentu saja akan semakin menurunkan devisa negara dari ekspor CPO, di mana CPO merupakan komoditas andalan ekspor nasional.

Kasus ini tentu tidak terlepas dari kebijakan pemerintah terkait pungutan ekspor CPO sebesar $50 US sehingga penambahan biaya bagi sektor usaha perkebunan sawit. Alangkah baiknya pengoreksian pungutan ekspor CPO itu dilakukan atau hentikan saja pungutan $50 yang selama 3 tahun justru menghancurkan harga CPO Indonesia.

Karena pada kenyataannya, beban pungutan ekspor CPO mempengaruhi harga tandan buah segar petani dan beban biaya bagi perusahaan perkebunan sawit sendiri. Selain itu, eksportir CPO yang juga dibebani dengan tarif bea masuk ekspor ke negara-negara tujuan.

Apalagi selama ini dana penghimpunan pungutan ekspor CPO lebih dari 98 persen digunakan untuk subsidi industri biodiesel B20 kepada Konglomerat Sawit. Mereka itu sebenarnya menyalahi UU No 39 tahun 2014 tentang perkebunan yang menjelaskan dana hasil pungutan usaha perkebunan tidak digunakan untuk subsidi Biodiesel tapi lebih untuk program replanting, dan kampanye lingkungan terkait usaha sawit dan pengembangan SDM serta pelatihan.

Namun, sejauh ini pergerakan pemerintah Jokowi dapat diapresiasi, yakni ia sudah mengambil langkah untuk pendekatan kepada Eropa untuk bersedia menerima CPO Indonesia dan menurunkan Bea masuk ekspor CPO ke Eropa, hal itu juga berlaku ke India.

Selain itu, agar CPO Indonesia bisa terserap lebih banyak di dalam negeri, pemerintah harus memberikan kemudahan birokrasi dan kebijakan bebas pajak untuk industri turunan CPO selain minyak goreng dan biodiesel, agar meningkatkan harga jual CPO yang terus turun selama tiga tahun belakangan ini.

Baca Juga: Imigrasi Depak WN Turki dari Bali gegara Sembunyikan Buronan

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Clara Aprilia Sukandar
Editor: Clara Aprilia Sukandar

Bagikan Artikel: