Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

CIPS: Permendag Soal Tata Niaga Gula Urgen Direvisi

CIPS: Permendag Soal Tata Niaga Gula Urgen Direvisi Kredit Foto: Antara/Yusuf Nugroho
Warta Ekonomi, Jakarta -

Pemerintah perlu mengevaluasi tata niaga kebijakan gula di Tanah Air. Beberapa kebijakan tata niaga gula yang sudah diterapkan pemerintah dinilai tidak efektif untuk menjaga kestabilan harga komoditas itu.

Kepala Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Hizkia Respatiadi mengatakan, pemerintah perlu melakukan revisi terhadap beberapa peraturan dalam tata niaga gula nasional. Salah satunya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) nomor 117 tahun 2015 Pasal 5 (2) yang menyatakan pemerintah hanya memberikan lisensi impor kepada para BUMN.

"Revisi ini penting untuk mendorong terciptanya proses pemberian lisensi yang lebih adil dan transparan untuk mencegah terjadinya praktik kartel oleh BUMN atau pun importir-importir swasta," jelasnya dalam keterangan tertulisnya kepada redaksi Warta Ekonomi, Selasa (13/11/2018).

Walaupun tidak ada batasan terhadap jumlah gula yang diimpor, tingkat persaingan di pasar gula akan tetap oligopolistik karena terbatasnya jumlah importir yang terlibat. Dalam kondisi ini, para BUMN yang memiliki lisensi impor tetap mampu mengontrol harga gula dengan mengendalikan jumlah gula yang diimpornya.

Hizkia menambahkan, setelah reformasi kebijakan ini dilaksanakan, perusahaan-perusahaan yang terkait dengan industri gula akan lebih enggan untuk menimbun stok dan melakukan spekulasi harga karena mereka harus menghadapi persaingan yang semakin ketat seiring dengan bertambah banyaknya importir gula. Sementara itu, para konsumen akan memiliki lebih banyak pilihan karena adanya pasokan gula dari para importir yang jumlahnya semakin bertambah.

Selagi mengimplementasikan perubahan-perubahan ini, pemerintah sebaiknya tetap mengontrol jumlah gula yang diimpor sebagaimana yang diatur dalam Permendag nomor 117 tahun 2015 pasal 3. Selama pemerintah masih memegang kendali penuh terhadap jumlah gula yang diimpor, Hizkia menambahkan, diharapkan hal ini dapat meminimalisir perlawanan dan penolakan yang mungkin akan timbul dari para petani tebu dan industri gula dalam negeri terhadap proses reformasi pemberian lisensi impor.

Pada Agustus 2018, berdasarkan data BPS 2018, harga rata-rata nasional untuk gula kristal putih di Indonesia mencapai Rp12.386 per kilogram. Harga ini hampir tiga kali lipat dari harga dunia sebesar Rp4.591,48 per kilogram pada periode yang sama (International Sugar Organization/ISO 2018).

Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) mencatat bahwa konsumsi rata-rata nasional untuk gula kristal putih per orang di Indonesia mencapai 0,58 kilogram per bulan atau 6,93 kilogram per tahun pada 2017.

Di akhir 2017, garis kemiskinan di Indonesia ditetapkan sebesar Rp370.910 per bulan (BPS, 2018). Artinya, mereka yang berada pada garis kemiskinan menghabiskan hampir 2% (Rp7.183) dari penghasilan bulanan mereka untuk membeli gula kristal putih, dan mereka yang berada di bawah garis kemiskinan menghabiskan proporsi yang lebih besar lagi dari penghasilannya.

"Berdasarkan perhitungan ini, sebuah rumah tangga yang beranggotakan lima orang akan menghabiskan sekitar Rp35.000 untuk gula kristal putih setiap bulan, padahal seharusnya mereka dapat menghemat sekitar Rp22.000 per bulan jika saja harga gula di Indonesia sama murahnya dengan di pasar dunia," urainya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Rosmayanti
Editor: Rosmayanti

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: