Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Peneliti Ini Sebut Jokowi Bakal Menang Lagi, Karena Demokrat?

Peneliti Ini Sebut Jokowi Bakal Menang Lagi, Karena Demokrat? Kredit Foto: Antara/Wahyu Putro A
Warta Ekonomi, Kuala Lumpur -

Peneliti Institute of Strategic and International Studies Malaysia mengatakan dalam konteks politik saat ini pasangan Joko Widodo- Ma'ruf Amin mempunyai kesempatan lebih besar untuk memenangkan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.

Analis Indonesia Watch yang tergabung dalam Institute of Strategic and International Studies Malaysia Muhammad Sinatra dan Dwintha Maya Kartika mengemukakan hal itu di Kuala Lumpur, Kamis.

Kedua analis memaparkan hasil penelitian tentang Pilpres 2019 secara objektif dan sistematis dengan menggunakan metode analisis faktor 5P party (partai), personality (kepribadian), pocket (pendanaan), policy (kebijakan) dan preference (pilihan).

Analis menyimpulkan bahwa pasangan Jokowi-Ma'ruf unggul dalam faktor partai dan kepribadian. Sedangkan pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno unggul dalam faktor pendanaan.

"Kedua pasangan terlihat seimbang. Faktor partai melihat konteks distribusi kekuasaan dalam dinamika koalisi kedua pasangan calon dan berdasarkan hasil pemilihan kepala daerah (Pilkada) Serentak 2018," kata Siantra.

Berdasarkan jumlah partai dalam kedua koalisi, pasangan Jokowi-Ma'ruf diunggulkan oleh sembilan partai dalam gabungan Koalisi Indonesia Kerja.

Sementara itu, pasangan Prabowo-Sandi hanya didukung lima partai dalam Koalisi Indonesia Adil Makmur.

Meskipun begitu, berdasarkan hasil beberapa pemilihan umum yang dilaksanakan dalam beberapa tahun terakhir, jumlah partai tidak serta merta menentukan keunggulan pasangan calon.

"Sebagai contoh, pasangan Prabowo-Hatta yang didukung enam partai kalah dari pasangan Jokowi-Kalla yang hanya didukung lima partai. Akan tetapi, menurut hasil Pilkada 2018, tujuh dari 10 provinsi terpadat di Indonesia diperintah oleh gubernur-gubernur yang simpatik terhadap pasangan Jokowi-Ma'ruf," katanya.

Analis juga berpendapat partai peserta Pemilu 2019 akan menghadapi tantangan untuk membagi usaha dan sumber daya partai untuk memenangkan pemilihan legislatif (Pileg) 2019 dan Pilpres 2019.

"Walapun partai-partai bisa diuntungkan oleh 'coattail effect' melalui aliansi dengan salah satu kandidat, situasi ini juga dapat menimbulkan beberapa masalah," katanya.

Sebagai contoh, kader Partai Demokrat dan PAN dilaporkan ragu-ragu untuk mendukung pasangan Prabowo-Sandi di beberapa daerah pendukung kuat pasangan Jokowi-Ma'ruf, seperti di Manado dan Jawa Timur.

Koalisi partai juga tidak absolut, beberapa kader Partai Demokrat diberikan kebebasan untuk mengkampanyekan pasangan Prabowo-Sandi.

"Alasan yang diberikan untuk memaksimalkan kesempatan Partai Demokrat memenangkan Pileg 2019," katanya.

Untuk faktor kepribadian, analis menemukan bahwa kepribadian calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) menjadi penentu besar untuk memenangkan hati lebih dari 180 juta pemilih di Indonesia.

Berdasarkan temuan beberapa lembaga survei, secara konsisten elektabilitas Jokowi lebih tinggi daripada Prabowo dalam satu tahun terakhir, bahkan setelah pengumuman cawapres di bulan Agustus 2018.

Beberapa pengamat politik berpendapat bahwa Prabowo akan menjadi pemimpin otoriter jika terpilih menjadi presiden disebabkan oleh citra "strongman" yang lekat dengan Prabowo.

"Akan tetapi, Presiden Jokowi lah yang telah memperlihatkan kecenderungan dalam menunjukkan karakter otoriter selama masa jabatannya," katanya.

Pencalonan cawapres Ma'ruf Amin dan Sandiaga Uno juga telah mengubah dinamika Pilpres 2019.

Pada awalnya, isu-isu primordial diprediksi akan digunakan oleh kubu Prabowo. Tetapi Jokowi mematahkan peluang tersebut dengan mengusung Ma'ruf Amin sebagai cawapresnya.

"Sayangnya taktik ini juga menunjukkan Jokowi telah mengesahkan keberadaan politik identitas dalam pertarungan Pilpres 2019," katanya.

Pencalonan Sandi juga memperlihatkan kubu Prabowo telah memprioritaskan isu-isu ekonomi sebagai sebuah taktik untuk menyerang kubu Jokowi.

Faktor pendanaan juga penting untuk memenangkan Pilpres 2019.

Di tahun 2013 Forbes memprediksi bahwa total pengeluaran seorang kandidat presiden dalam pilpres adalah sekitar Rp7 trilliun atau US$600 juta.

Total kekayaan pribadi Jokowi-Ma'ruf berjumlah sekitar Rp61 miliar, sedangkan Prabowo-Sandi mencapai Rp7 trilliun.

"Dengan figur ini pasangan Prabowo-Sandi terlihat unggul di faktor pendanaan. Di samping itu, kedua pasangan juga telah mengumumkan dana kampanye awal sebanyak Rp11 miliar untuk Jokowi-Ma'ruf dan Rp2 miliar untuk Prabowo-Sandi," katanya.

Analis tersebut memprediksi dana kampanye ini akan naik seiring dengan berjalannya periode kampanye.

Dalam faktor kebijakan, kedua pasangan tidak menunjukkan banyak perbedaan dalam visi-misi mereka.

"Kedua kubu menjanjikan kebijakan populis yang memfokuskan pertumbuhan dan pemerataan ekonomi. Visi misi kedua kubu juga tidak menekankan strategi global jika terpilih," ujarnya.

"Dalam masa kampanye pasangan Prabowo-Sandi terlihat menyerang pasangan Jokowi-Ma'ruf dalam isu-isu ekonomi. Pasangan Jokowi-Ma'ruf juga melancarkan serangan balik dengan menyoroti bahwa klaim-klaim pasangan Prabowo-Sandi tidak substantif," katanya lagi.

Dalam faktor pilihan yang menyoroti preferensi masyarakat terhadap kedua pasangan, Analis menyimpulkan kedua kubu terlihat seimbang.

Kedua Analis menekankan pentingnya dinamika "neighbourhood politics" (politik RT/RW) untuk menentukan pilihan.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Vicky Fadil

Bagikan Artikel: