Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Kasus Suap Meikarta Buntut Perizinan yang Masih Berbelit di Daerah

Kasus Suap Meikarta Buntut Perizinan yang Masih Berbelit di Daerah Kredit Foto: Antara/Risky Andrianto
Warta Ekonomi, Jakarta -

Di tengah lesunya bisnis properti, para pengembang masih saja menemukan hambatan soal perizinan dari pemerintah daerah, sehingga membuat harga properti di dalam negeri sulit dijangkau Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Alhasil, kondisi ini tidak sejalan dengan program pemerintah untuk memenuhi satu juta rumah bagi masyarakat kecil. Tengok saja, kasus suap Meikarta menjadi gambaran bahwa perizinan properti masih sulit.

Hal ini pun diakui Anggota Komisi II DPR RI dari Partai Gerindra, Edi Prabowo. Disampaikannya, perizinan birokrasi yang berbelit-belit akan menghambat iklim investasi dan termasuk di industri properti.

"Seharusnya dalam mendorong roda perekonomian, seperti menarik investor dari dalam dan luar negeri harus dipermudah perizinan dan bukan sebaliknya dipersulit," ujarnya ketika dihubungi Warta Ekonomi, Jumat (23/11/2018).

Dirinya menuturkan, kasus suap Meikarta tidak hanya dilihat dari kesalahan pihak swasta, tetapi juga pemerintah daerah yang harus terbuka, sehingga tercipta iklim investasi yang kondusif. Namun demikian, dia berpendapat lesunya bisnis properti saat ini tidak semata soal faktor hambatan perizinan birokrasi, tetapi juga daya beli masyarakat yang menurun.

Sementara F Rach Suherman, konsultan bisnis properti menuturkan, di era otonomi daerah, ada akses disharmonisasi regulasi. Di mana paket kebijakan ekonomi XIII Jokowi yang sejatinya bagus, tetapi terhambat berbagai peraturan daerah (perda) lama yang belum banyak diubah oleh banyak pemerintah daerah.

"Contoh nyata adalah penurunan PPh 5% jadi 2,5%, sama sekali tidak digubris daerah, sehingga BPHTB tetap 5% dan hal ini karena PAD. Kepentingan pusat-daerah membuat dunia usaha terjepit di antara 'dua raja'," ungkapnya.

Selanjutnya, praktik suap yang dilakukan pihak korporasi adalah soal mental. Namun demikian, suap dilakukan swasta atau pengembang karena ingin membeli waktu saat terhambat panjangnya dan berbelitnya proes perizinan. Padahal, perencanaan bagi pengembang harus lekas jalan karena ada cost of money.

Praktik suap sendiri, menurut F Rach Suherman, juga karena ada pengusaha yang tidak memenuhi syarat dan kemudian mengambil jalan pintas. Ini malah disambut baik oleh pejabat yang kebetulan kepepet ingin lekas kaya.

Ke depan, untuk menekan praktik suap di sektor properti dan sektor lain, maka model perizinan satu atap dan penyederhanaan meja-meja perizinan seharusnya sudah menjadi tekad pemerintah. Praktik ini pun, kata F Rach Suherman, sebenarnya sudah dilakukan pemerintah dengan hasil yang lumayan membaik. Seperti memakai Key Performance Indicator (KPI) yang diatur MenpanRB bersama pemda. Di mana izin A, sekian hari kelar, izin B sekian hari, dan sanksi yang tidak mencapai, langsung ganti pejabat baru. Pengawasan publik, lanjutnya, sangat diperlukan dan bisa dilakukan lewat informasi digital.

Hal senada juga disampaikan Ali Tranghanda, CEO Indonesia Property Watch. Menurutnya, kasus suap Meikarta tidak bisa lepas dari perizinan yang berbelit.

"Meskipun pemangkasan sudah terjadi, tapi praktik di lapangan masih terjadi, sehingga sua pun tidak bisa dihindari, dan ironisnya saat ini pengawasan belum efektif," tuturnya.

Menurutnya, penyediaan rumah sederhana seharusnya menjadi domain pemda. Namun sayangnya, saat ini belum semua pemda sadar. Hal ini pun tidak lepas terkait keterbatasan sumber daya manusia dan juga keterbatasan sosialisasi.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Rosmayanti

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: