Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

CIPS: HPP Tak Terlalu Berpengaruh dalam Tata Niaga Perberasan Nasional

CIPS: HPP Tak Terlalu Berpengaruh dalam Tata Niaga Perberasan Nasional Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Penerapan Harga pokok penjualan (HPP) yang selama ini dinilai melindungi petani dari anjloknya harga, tidak serta merta meningkatkan kualitas dari gabah yang dihasilkan. Riset Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) juga menemukan bahwa selama 2007-2015, rata-rata harga GKP di pasaran mencapai 20,87% lebih tinggi dari harga yang dipatok oleh HPP. Hal ini menggambarkan bahwa sebenarnya HPP tidak terlalu berpengaruh dalam tata niaga perberasan nasional.

Peneliti CIPS, Assyifa Szami Ilman, mengatakan, penerapan skema pengadaan beras yang baru dapat mempermudah Bulog dalam melakukan penyerapan beras di tingkat petani karena dapat mematok harga yang sekiranya dapat memuaskan kedua pihak (petani dan Bulog).

“Perlu diingat juga, keputusan ini perlu juga diiringi dengan perbaikan total dalam struktur industri beras di Indonesia. Selama ini kebijakan lain seperti HET menekan pedagang pasar dalam mematok penjualan harga beras untuk melindungi konsumen,” jelas Ilman.

Ilman menambahkan, kalau pelaku usaha dipaksa untuk mengikuti harga HET dengan menekan margin, maka yang akan terjadi adalah tidak ada pelaku pasar yang akan menjual beras domestik. Hal ini akan berdampak pada berhenti berproduksinya petani gabah. Dampak selanjutnya adalah bukan tidak mungkin penggilingan menengah juga akan berhenti berproduksi. Masalah-masalah ini akhirnya akan merusak perdangan beras di tanah air.

“Langkah yang perlu dipastikan saat ini bukan fokus pada penyerapan dan penetapan HET lagi, tetapi bagaimana membantu petani meningkatkan produktivitas ditengah kondisi cuaca yang tidak mendukung sehingga memastikan bahwa jumlah produksi domestik dapat meningkat dengan kualitas yang dapat bersaing di pasar,” urainya.

Ilamn melanjutkan, kebijakan ini justru memicu adanya pasar gelap dan meningkatkan risiko kelangkaan beras. Di sisi lain, pemerintah justru menyebut panjangnya rantai distribusi adalah penyebab tingginya harga beras di Indonesia.

"Kalau begitu pemerintah harus bisa menyederhanakan rantai distribusi yang panjang dulu sebelum menerapkan HET," kata Ilman.

Padahal, lanjutnya, dalam mencapai harga beras yang terjangkau bagi konsumen dan juga menguntungkan bagi petani, pemerintah perlu melakukan dua hal.

"Pertama adalah menyederhanakan rantai pasok dari industri beras itu sendiri agar profit margin yang diambil di tiap rantai tidak menumpuk dan akhirnya membebani pelaku industri di hilir (pedagang eceran). Selanjutnya adalah perlunya peningkatan produktivitas petani dengan konsisten melanjutkan program mekanisasi yang sudah dilakukan Kementerian Pertanian (Kementan)," tutup Ilman.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Kumairoh
Editor: Kumairoh

Bagikan Artikel: