Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

BPN Nilai Program Cetak Sawah Gagal Imbangi Alih Fungsi

BPN Nilai Program Cetak Sawah Gagal Imbangi Alih Fungsi Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menyatakan tiap tahun area persawahan  diprediksi terus berkurang.

Namun, program cetak sawah yang dilaksanakan Kementerian Pertanian (Kementan) mampu mengatasi hal itu. Kemudian, pengecekan melalui citra satelit beserta verifikasi lapangan juga ditujukan untuk mengecek benar-tidaknya klaim Kementan akan realisasi luasan cetak sawah.

Kasubdit Pemantauan dan Evaluasi Tanah Pertanian Kementerian ATR/BPN, Vevin S Ardiwijaya, menegaskan bahwa untuk mencegah pengurangan lahan memang tidak bisa dilawan dengan program cetak sawah semata. Bahkan, diperkirakan tahun depan lahan sawah di Indonesia bisa berkurang lagi hingga 1,4 juta hektare.

"Ini saja yang dari hasil terbaru 2018 itu kan 7,1 juta hektare ya dari citra satelit. Tapi ke depannya diprediksi bisa berkurang lagi sampai 20%," katanya di Jakarta, Kamis (06/12/2018).

Pengurangan yang cukup signifikan tersebut disebabkan oleh banyaknya lahan sawah yang ternyata sudah memiliki izin alih fungsi. Lahan-lahan tersebut ada yang beralih menjadi mal dan bangunan lainnya.

"Idealnya memang tiap tahun dicek terus. Alih fungsi ini kan kencang sekali untuk lahan pertanian," ucapnya lagi.

Kementerian ATR/BPN tengah fokus menggarap rancangan peraturan presiden guna mempersulit alih fungsi lahan. Pertama, untuk bisa efektif berproduksi, cetak sawah memerlukan waktu yang sangat lama. Lahan sawah baru tersebut diperkirakan baru bisa berfungsi dalam jangka waktu 5—10 tahun ke depan.

"Jadi, tidak bisa buka sawah terus langsung bisa produksi 2—3 kali setahun. Waktunya lama itu untuk lahan baru bisa sampai 5—10 tahun," imbuhnya.

Diakuinya, saat ini sendiri Kementerian Pertanian (Kementan) mengklaim program cetak sawah mampu menghasilkan sekitar 60 ribu hektare sawah baru tiap tahunnya. Melalui program yang dimulai dari tahun 2013 ini, jika dikalkukasi diperkirakan sudah mampu menghasilkan sebanyak 300 ribu hektare dalam lima tahun terakhir. Namun, realisasinya tidak demikian.

"Tapi itu harus diingat, klaimnya berdasarkan dana yang dikeluarkan Kementan yang dikasih ke petani dan lain-lain. Kasus di lapangan banyak yang tidak sesuai, " papar Vevin.

Perbedaan luasan sawah baru tersebut diperkirakan karena pihak yang mendapat dana dari Kementan membangun sawah dengan ukuran yang tidak mendetail, tetapi hanya berdasarkan perkiraan. Di sisi lain, banyak juga ditemukan sawah-sawah baru dari program cetak sawah yang posisinya tidak strategis karena jauh dari masyarakat. Sawah sudah tercetak, namun tidak ada petani yang menggarap.

Sementara itu, Direktur Statistik Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan BPS, Hermanto bin Ashari Prawito, menyebutkan berkurangnya luas baku lahan pertanian sejatinya telah terkonfirmasi dari data yang dirilis pemerintah. Data yang didapat dari citra satelit juga menyimpulkan adanya pengurangan areal persawahan. 

Diharapkan, tidak ada pihak yang menggunakan data di luar data nasional tersebut, termasuk Kementerian Pertanian (Kementan).

"Iya, bisa dilihat. Artinya, per tahun ada sekitar 120 hektare (lahan pertanian yang hilang). Itu bisa dilihat dari data nasional," ujar Hermanto.

Data tersebut diperoleh dari hasil dari kerja sama tim nasional verifikasi luas lahan baku lahan sawah. Tim tersebut beranggotakan Badan Informasi Geospasial (BIG), Kementerian ATR/BPN, LAPAN, BPS, dan  Kementerian Pertanian Sender. BIG memiliki wewenang untuk membuat peta berbasis spasial yang diklarifikasi oleh satelit LAPAN. Setelah itu, dilakukan groundcheck sample dan kemudian di SK-kan oleh Kementerian ATR/BPN.

Kepala BPS, Suhariyanto, menegaskan pihaknya akan berpegang teguh pada data luas baku sawah terbaru yang diperoleh melalui skema Kerangka Sampel Area (KSA). Ia pun mempersilakan Kementan jika ingin menghitung luas sawah secara mandiri. Namun, hasil yang keluar dari institusi tersebut tidak akan digunakan sebagai acuan.

"Kami akan tetep mengacu pada data yang memiliki kekuatan hukum yakni yang dihimpun Kementerian ATR (Agraria dan Tata Ruang), Lapan (Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional) dan BIG (Badan Informasi Geospasial)," ujar Suhariyanto di kantornya, kemarin.

Hal senada dikemukakan oleh Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Prof. Kudang Boro Seminar. Ia mengatakan, permintaan data oleh Kementerian Pertanian kepada Dinas Pertanian di provinsi, kabupaten dan kota untuk data luas baku sawah diharap jangan sampai salah atau tidak akurat. 

Prof. Kudang mengatakan, setiap data bisa berbeda-beda tergantung cara penghitungannya. Namun, soal permintaan dari Kementerian Pertanian kepada dinas-dinas di provinsi atau kabupaten/kota sebaiknya bukan bertendensi menolak perhitungan tim bersama ini. Harusnya, permintaan Kementan itu disikapi dinas-dinas di daerah bahwa mereka harus lebih spesifik dan lebih rinci dalam mendata luas baku sawah.

"Apakah meminta data itu adalah karena Kementan tidak punya yang memadai?, kalau misalnya BPS sudah ada data yang cukup akurat ya buat apa lagi? Jangan-jangan data dari Dinas Pertanian di daerah-daerah malah tidak akurat," ujarnya pada kesempatan berbeda. 

Sebaliknya, Kementan menargetkan mencetak 12.000 hektare sawah tahun ini. Namun, realisasinya hingga saat ini baru mencapai 6.402 hektare.

Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP), Pending Dadih Permana, menyatakan kendala dari percetakan ini lantaran verifikasi data pada survei, investigasi dan desain (SID). Berdasarkan verifikasi, lahan yang layak cetak baru mencapai 6.000 hektare.

Kementan mencatat,  empat tahun terakhir ini  telah mencetak 215.811 hektare lahan baru. Program ini berjalan sejak tahun 2015 yang pada tahun itu menghasilkan 20.070 hektare, kemudian tahun 2016 menghasilkan 129.096 hektare dan tahun 2017 mencapai 60.243 hektare.

Menurut Direktur Perluasan dan Perlindungan Lahan, Direktorat Prasarana dan Sarana Pertanian Jakarta, Kementrian Pertanian, Indah Megawati, anggaran cetak sawah tergantung pada lahan dan kemudahan mengolah area tersebut. Untuk wilayah Papua dan Kalimantan anggarannya diperkirakan sekitar Rp19 juta per hektare, sedangkan di Jawa sekitar Rp16 juta per hektare.

Baca Juga: Tegas! Bule Inggris Eks Napi Narkoba Diusir dari Bali

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Lestari Ningsih

Bagikan Artikel: