Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

'Aji Mumpung' di Tengah Perang Dagang (2)

'Aji Mumpung' di Tengah Perang Dagang (2) Kredit Foto: Reuters/Kevin Lamarque
Warta Ekonomi, Jakarta -

Tidak cukup sampai di situ, China pun mendesak WTO menindaklanjuti kebijakan AS yang dianggapnya sudah melenceng dari tujuan utama perdagangan global yang mendorong liberalisasi pasar.

Konferensi Tingkat Tinggi Kerja Sama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC) pada 12-18 November 2018 di Port Moresby, Papua Nugini, tidak menghasilkan kesepakatan apa pun di antara negara-negara anggota, termasuk AS dan China.

Kalau pun Presiden Trump dan Presiden China Xi Jinping duduk dalam satu meja di KTT G20 di Buenos Aires, Argentina, beberapa hari lalu bukan berarti peperangan mereda.

Di meja makan malam bersama, Trump dan Xi hanya sepakat menunda penambahan kebijakan tarif lanjutan untuk beberapa produk selama 90 hari terhitung sejak 1 Desember 2019.

Kedua kepala negara itu juga membuka kesempatan untuk menegosiasikan ulang beberapa perselisihan perdagangan yang selama ini belum selesai.

Strategis Perang tarif itu tidak saja membuat kedua negara "dedel duel", melainkan juga memberikan dampak ekonomi terhadap beberapa negara lain.

Fenomena tersebut telah menjadikan masa depan perekonomian global semakin tidak jelas juntrungnya.

Indonesia termasuk salah satu negara yang terkena dampak dari perang tarif dua negara besar itu. Melemahnya daya beli masyarakat dan merosotnya nilai tukar rupiah sebagian kecil dari dampak perang dagang tersebut.

Sampai kapan gejala ini berlangsung? Tidak satu pun ekonom dan pelaku bisnis yang bisa memprediksi karena semuanya tergantung dari kemauan Trump dan Xi yang sama-sama punya pengaruh kuat, baik di dalam maupun di luar negeri.

"Kalau kita sebut marathon, ya, memang marathon yang tidak jelas kapan finisnya," kata Kepala Perwakilan Bank Indonesia Beijing, Arief Hartawan, menanggapi upaya pemerintah Indonesia dalam menstabilkan perekonomian saat ini. Walau begitu, Indonesia punya peluang yang cukup signifikan dalam memanfaatkan situasi tidak menentu seperti sekarang ini.

Apalagi sudah ada jaminan dari Perdana Menteri China Li Keqiang yang akan menambah pasokan barang dari Indonesia seperti yang disampaikannya kepada Presiden Joko Widodo dalam kunjungan kenegaraannya ke Indonesia pada 6-8 Mei 2018.

Jaminan itu di antaranya penambahan kuota impor 500 ribu ton kelapa sawit dari Indonesia sebagai pengganti kedelai AS yang dikenai tarif masuk ke China sebesar 25 persen.

Sudah barang tentu menjadi kabar baik bagi 16 juta petani kelapa sawit Indonesia. Jika pada 2016, volume impor kelapa sawit China dari Indonesia mencapai 3,23 juta ton, maka pada 2017 volume itu meningkat menjadi 3,73 juta ton.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ferry Hidayat

Bagikan Artikel: