Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Aturan Pembangunan Kebun Masyarakat Bingungkan Pengusaha Sawit

Aturan Pembangunan Kebun Masyarakat Bingungkan Pengusaha Sawit Kredit Foto: Boyke P. Siregar
Warta Ekonomi, Jakarta -

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono menilai terjadi tumpang tindih regulasi dalam aturan pembangunan kebun masyarakat. Bahkan ia menyebut terjadi over regulasi.

Joko mengatakan, pengaturan tentang kewajiban fasilitasi pembangunan kebun masyarakat sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan. Dalam UU tersebut dikatakan bahwa perusahaan perkebunan yang memiliki izin usaha perkebunan untuk budi daya wajib memfasilitasi pembangunan kebun masyarakat sekitar paling rendah 20% dari total luas areal kebun yang diusahakan oleh perusahaan perkebunan.

Namun sayangya, pengaturan tentang kewajiban pembangunan kebun masyarakat tersebut bukan satu-satunya. Sebelumnya ada aturan dalam Perarturan Menteri Pertanian Nomor 98 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan. Pasal 15 dikatakan bahwa perusahaan perkebunan yang mengajukan IUP-B atau IUP dengan luas 250 hektare atau lebih berkewajiban memfasilitas pembangunan kebun masyarakat.

Berikutnya ada Perarturan Menteri Agraria dan Tata Ruang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pengaturan dan Tata Cara Penetapan Hak Guna Usaha Pasal 40. Selanjutnya Perarturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.51 tentang Tata Cara Pelepasan Kawasan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi.  Terakhir, ada Inpres Nomor 8 Tahun 2018 tentang Penundaan dan Evaluasi Perizinan Perkebunan Kelapa Sawit.

"Memang kalau kita lihat perarturan yang paling tinggi adalah UU Nomor 39 Tahun 2014. Namun, hingga kini belum dapat dijalankan karena belum ada perarturan pemerintahnya. Seperti dikatakan pasal 59 bahwa sebenarnya dapat dilaksanakan kalau sudah ada perarturan pemerintahnya," kata Joko dalam diskusi di Jakarta, Rabu (12/12/2018).

Joko menilai dengan begitu banyaknya regulasi yang saling tumpang tindih dan tabrakan dapat  menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pelaku usaha.

:Saya sudah mendapatkan keluhan dari teman-teman di daerah. Mereka sudah was-was. Seolah-olah semua orang diberikan kesempatan untuk menuntut perusahaan supaya dapat hak 20%. Jadi, terus terang kami was-was yang mana mau diikutin, sementara tuntutan semakin lama semakin besar," ungkapnya

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Boyke P. Siregar
Editor: Rosmayanti

Bagikan Artikel: