Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Tekfin Berkembang Pesat, Apa Sebabnya?

Tekfin Berkembang Pesat, Apa Sebabnya? Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Direktur Perizinan, Pengaturan dan Pengawasan Fintech OJK Hendrikus Passagi mengatakan jumlah perusahaan teknologi finansial (tekfin) dengan layanan pembiayaan makin meningkat seiring dengan tingginya permintaan.

Hendrikus dalam jumpa pers di Jakarta, Rabu mengatakan tingginya permintaan tersebut karena di Indonesia terdapat masyarakat yang membutuhkan dana cepat tapi tidak punya akses pembiayaan ke perbankan (unbanked) dan masyarakat yang mempunyai penghasilan tetap tapi membutuhkan dana cepat (unserved).

"Dengan kebutuhan 'unbanked' dan 'unserved', tidak heran apabila 'fintech lending' berkembang pesat," kata Hendrikus.

Hendrikus menjelaskan terdapat tiga tipe lembaga pembiayaan tekfin di Indonesia yaitu kelas satu yang khusus memberikan pinjaman kepada anggota dalam ekosistem yang tertutup dengan pemberian bunga lebih kompetitif serta risiko yang rendah. "'Fintech' kelas satu ini tidak ada keluhan, dan mereka bisa berkompetisi dengan tingkat bunga bank," ujarnya.

Kemudian, kelas dua yang memberikan pembiayaan dalam ekosistem terbuka tapi terbatas, sehingga siapapun bisa memperoleh pinjaman asalkan memiliki jaminan seperti properti, kendaraan, emas maupun peralatan elektronik lainnya.

Terakhir, kelas tiga yang terbuka bagi siapapun tanpa menyatakan pentingnya jaminan serta mengenakan bunga yang tinggi kepada nasabah sehingga sering menimbulkan persoalan yang berujung pada konsekuensi hukum karena sulit dikontrol oleh otoritas pengawas.

"Ini alasannya mereka memberikan bunga tinggi karena siapapun bisa meminjam. Kami pastikan yang banyak ilegal dan membuat heboh adalah kelas tiga," kata Hendrikus.

Ia juga menyatakan persoalan tekfin ilegal yang merugikan masyarakat tidak hanya dihadapi oleh Indonesia, namun juga di China yang saat ini sedang mengalami pertumbuhan tekfin berbasis pembiayaan secara pesat seiring dengan kegiatan ekonomi yang meningkat.

"Persoalan di Tiongkok heboh karena dananya disalahgunakan oleh penyelenggara. Kalau di Indonesia, heboh karena ada nasabah yang meminjam di 40 tempat, lalu utangnya tidak dibayar. Meski ini jumlahnya terbatas," ujarnya.

Untuk itu, ia mengingatkan agar masyarakat benar-benar memahami risiko, kewajiban dan biaya saat berinteraksi dengan atau tekfin berbasis pembiayaan yang lazim disebut "peer to peer lending" (P2P), agar terhindar dari hal-hal yang merugikan.

Selama ini, OJK sering mendapatkan pengaduan masyarakat terkait P2P yaitu nasabah tidak mengembalikan pinjaman tepat waktu sehingga berujung pada penghitungan suku bunga dan penagihan serta cara penagihan dan perlindungan kerahasiaan data nasabah.

Hingga saat ini, jumlah penyelenggara jasa berbasis pembiayaan yang terdaftar maupun mempunyai izin di OJK tercatat baru mencapai 78 tekfin.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ferry Hidayat

Bagikan Artikel: