Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Kadin Bahas Potensi Tapioka dan Mocaf Dukung Ketahanan Pangan Nasional

Kadin Bahas Potensi Tapioka dan Mocaf Dukung Ketahanan Pangan Nasional Kredit Foto: Kadin Indonesia
Warta Ekonomi, Jakarta -

Komite Tetap (Komtap) Ketahanan Pangan Kadin Indonesia menggelar diskusi (FGD) bersama Masyarakat Singkong Indonesia (MSI) dan sejumlah akademisi dan peneliti bertema "Tapioka, Mocaf, dan Protein Berbasis Singkong untuk Memperkuat Ketahanan Pangan Nasional" di Menara Kadin, Jakarta, Rabu (12/12/2018).

Ketua Komtap Ketahanan Pangan Franciscus Welirang dalam sambutannya mengatakan, Indonesia adalah negara yang telah dikarunia dengan kekayaan umbi-umbian, termasuk singkong atau ubi kayu. Namun, ada beberapa hal yang mengganjal terkait posisi umbi-umbian sebagai bahan pangan maupun bahan baku industri.

"Hal pertama, ketahanan pangan adalah soal ketersediaan (pasokan) dan keterjangkauan (harga) pangan tertentu bagi masyarakat. Setelah itu, baru bicara tentang kemandirian pangan yang jauh lebih sulit karena pertanian atau perkebunan biasanya berkaitan dengan cuaca," kata Franciscus dalam keterangan tertulisnya, Kamis (13/12/2018).

Ia menjelaskan, dari kedua aspek ketahanan pangan tersebut, singkong layak dikedepandankan sebagai sumber pangan yang perlu dikembangkan. Singgkong dapat dikembangkan menjadi tanaman pangan yang potensial, selain produktivitasnya tinggi (40-100 ton per hektare), juga kandungan kalori dan gizinya memadai. Kandungan kalori umbi segar (kadar air 60%) adalah 153 kalori memadai untuk konsumsi langsung sebagai bahan pangan pokok.

Apalagi, dari daun hingga umbinya dapat dimanfaatkan dan bernilai ekonomis. Salah satu produk olahan singkong ialah tepung tapioka, yang dibutuhkan secara global. Sementara itu, mocaf (modified cassava flour) merupakan tepung singkong yang dimodifikasi dan bisa menjadi alternatif pemenuhan kebutuhan tapioka. Meski demikian, kedua produk tersebut belum mampu mengatasi kebutuhan gizi yang ideal.

"Singkong tergolong rendah protein, tapi sangat kaya karbohidrat. Karena itu, kepentingan FGD ini mendapatkan masukan dari para pakar atau peneliti tentang potensi diversifikasi yang memungkinkan peningkatan proteinnya," lanjut Franciscus yang akrab disapa Franky ini.

Menurut Franky, pengembangan atau budi daya singkong layak mendapat perhatian tidak hanya dari aspek kebutuhan pangan. Industri pun membutuhkan bahan baku berbasis singkong. Sektor-sektor yang membutuhkan, selain industri makanan olahan, yakni industri kertas, kanji, kayu lapis, dan bioethanol.

Tantangan lain yang disebutkan Francis ialah terkait dialektika kepentingan petani dan industri. Menurut dia, seharusnya masing-masing pihak diuntungkan dengan semakin beragamnya kebutuhan industri akan bahan baku berbasis singkong. Yang dibutuhkan adalah pihak yang mampu memfasilitasi kedua kepentingan.

"Karena industri butuh pasokan bahan baku stabil, sedangkan petani butuh bahannya terjual. Jadi, seharusnya titik temunya sangat jelas," kata Franky.

Contoh nyata disampaikan oleh Hindarta Rusli dari MSI Medan. Sebagai pelaku industri, dia menjelaskan bagaimana membangun basis produksi bersama petani lokal. Demi menjamin kepastian dan stabilitas pasokan, pihaknya memfasilitasi masyarakat dengan sarana alat angkut.

"Kami siapkan traktor kecil untuk mengangkut dari kebun ke jalan yang lebih besar. Lalu, kami angkut dengan truk untuk dibawa ke pabrik. Hanya dengan cara itu kepastian bahan baku produksi dalam jumlah besar bisa terpenuhi," ujar Rusli.

Sementara itu, diversikasi produk yang bertujuan meningkatkan kadar protein dalam aneka pangan berbasis singkong telah dikembangkan sejumlah peneliti. Salah satunya Endang Sukara, Akademisi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) yang menjadi salah satu narasumber FGD. Dia memaparkan, singkong merupakan sumber pangan terbesar, setelah beras, gandum, dan jagung.

"Singkong kaya karbohidrat, sehingga mudah bikin kenyang, tapi rendah protein, sehingga tidak memperbaiki gizi," papar Endang.

Untuk mengatasi kekurangan tersebut, pihaknya mengembangkan mikroprotein. Salah satunya kapang tempe atau Rhizopus Oligosporus. Bahan ini memiliki daya rombak dan sintesis yang tinggi. Kapang dapat ditumbuhkan dalam substrat cair, mencerna ubi kayu, dan mengubahnya menjadi biomasa dengan kandungan protein tinggi.

"Dengan cara ini, peran singkong sebagai sumber pangan utama bisa bermanfaat secara penuh karena juga berfaedah untuk perbaikan gizi," tandas Endang.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Rosmayanti

Bagikan Artikel: