Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Perang Sistem GPS Dimulai, Konsumen dan Produsen Smartphone Terancam Rugi

Perang Sistem GPS Dimulai, Konsumen dan Produsen Smartphone Terancam Rugi Kredit Foto: Warta Ekonomi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Negara-negara di seluruh dunia, seperti China, Jepang, India, Inggris, dan Uni Eropa sedang menjajaki, menguji, dan menggunakan satelit untuk membangun kapabilitas pemosisian masing-masing. Apakah hal itu akan membawa dampak baik bagi pasar di tiap-tiap negara, khususnya untuk konsumen dan produsen perangkat yang memanfaatkan sistem pemosisian?

Hal tersebut berdampak pada Amerika Serikat (AS), yang selama beberapa dekade telah memonopoli praktis dalam menentukan lokasi objek dengan sistem Global Positioning System (GPS). Layanan militer angkatan udara yang dibangun selama perang dingin memungkinkan penggunaan sistem tersebut secara komersial sejak pertengahan 2000 lalu.

Memiliki GPS memang menghasilkan sejumlah keunggulan, namun yang terpenting, militer global dan seluruh pengguna komersial bergantung pada layanan pemerintah AS. Hal itu membuat penargetan lokasi sepenuhnya berada di tangan Departemen Ketahanan AS, Pentagon.

Sesungguhnya, perkembangan teknologi dan penyebaran satelit penentuan lokasi juga memberikan keuntungan luar biasa bagi industri luar angkasa. Saat ini, satu-satunya alternatif global untuk sistem tersebut, Glonass milik Rusia.

Glonass menjangkau wilayah global beberapa tahun lalu, setelah program agresif oleh Presiden Rusia Vladimir Putin untuk membangun kembali daerah tertinggal pasca pecahnya Uni Soviet.

Sejumlah negara ingin mengurangi ketergantungan terhadap AS untuk merasakan manfaat ekonomi tersebut. Mungkin tidak ada tempat selain China yang tengah menjadikan pembangunan alternatif global untuk GPS sebagai prioritas nasional. Sistem navigasi Beidou mulai dibangun sejak 2000 silam secara perlahan. Sebagian besar pembangunan berfokus pada penyediaan layanan di Asia.

Namun, China berharap dapat segera meluncurkan satelit Beidou dan menyediakan layanan penentuan lokasi di seluruh dunia. Melansir Techcrunch yang mengutip Financial Times beberapa minggu lalu, China telah meluncurkan 11 satelit di konstelasi Beidou tahun ini, hampir setengah dari jumlah seluruh jaringan. Pada 2020, Negeri Tirai Bambu itu berencana memperluas jaringan dengan selusin satelit lain. Bila itu sudah dilakukan, China akan menjadi salah satu penyedia sistem penentuan lokasi terbesar di dunia.

China tak hanya menempatkan satelit ke orbit luar angkasa, tetapi juga menuntut produsen ponsel pintar lokal memasukkan chip pemosisian Beidou di perangkat mereka. Saat ini, perangkat dari beberapa produsen besar, seperti Huawei dan Xiaomi, menggunakan sistem itu, bersama dengan GPS AS dan Glonass Rusia juga.

Itu membuat pemimpin pasar ponsel pintar AS, seperti Alphabet dan tentunya Apple, menjadi terikat. Apple, yang menyediakan perangkat iPhone terpadu di seluruh dunia, dilanda dilema karena disintegrasi monopoli pada sistem GPS. Mana yang lebih baik bagi mereka, menawarkan perangkat original mereka ke pasar China yang mampu menciptakan Beidou, atau menambah chip Beidou ke perangkatnya di seluruh dunia, tetapi mengalami masalah dengan otoritas keamanan nasional AS?

China mungkin yang paling agresif dalam meluncurkan sistem alternatif untuk GPS AS, tetapi yang lebih penting, mereka tak sendirian dalam mengupayakan sistem penentuan lokasi secara mandiri. Ada Jepang, India, Inggris, dan juga Uni Eropa yang sedang mengupayakan hal serupa.

Untuk bersaing dengan China dan meremajakan ekonominya, Jepang menjadikan peluncuran program ke luar angkasa sebagai prioritas nasional. Salah satu komponen penting dari program tersebut, membangun sistem penentuan lokasi, yakni sistem satelit Quazi-Zenith.

Hingga saat ini, sistem satelit Quazi-Zenith telah menelan biaya sebesar 120 miliar yen (sekitar Rp15,7 triliun) dan dirancang untuk menambah GPS dengan cakupan yang lebih luas di Jepang, serta memicu keuntungan sekitar 2,4 triliun yen (sekitar Rp35 triliun) di bidang ekonomi.

Efek Bagi Pengguna dan Produsen Perangkat Ponsel Pintar

Namun, penggunaan sistem baru tersebut dinilai membutuhkan biaya besar karena kurangnya skala produksi. Berdasarkan pernyataan Nikkei Asian Review beberapa minggu lalu, harga receiver yang tinggi menjadi tantangan bagi sistem QZSS Jepang.

"Pada Kamis lalu, Mitsubishi Electric mulai menjual receiver akurat berukuran beberapa sentimeter, dengan harga beberapa juta yen, atau puluhan ribu dolar per unit," tulis Nikkei Asian Review.

Akurasi lokasi tambahan di Jepang kemungkinan akan diperlukan untuk mobil otonom. Manufaktur mobil perlu menurunkan biaya dengan cepat jika mereka ingin menanam sistem QZSS dalam kendaraan buatan mereka.

Seperti Jepang, India juga mengejar sistem GPS-Augmenting yang bernama IRNSS, mereka telah meluncurkan tujuh satelit untuk memperluas jangkauan benua. Sementara Inggris yang dikabarkan akan meninggalkan Uni Eropa pada Maret mendatang pascareferendum atas Brexit, kemungkinan besar tidak bisa mengakses sistem penentuan posisi Galileo Uni Eropa. Oleh karena itu, mereka berencana meluncurkan sistem sendiri. Untuk Galileo sendiri, diharapkan dapat beroperasi penuh pada 2019.

Secara ringkas, dunia telah berpindah dari satu sistem (GPS AS), menjadi tujuh sistem, sementara ini. Saat produsen China memiliki GPS, Glonass dan Beidou yang diinstal pada satu chip, skala itu hanya dapat berfungsi di negara seukuran China. Di Jepang, di mana pasar smartphone tidak terlalu baik dan populasinya kurang dari 1/10 China, skala yang diperlukan untuk menurunkan harga mungkin lebih sulit ditemukan. Begitu pula dengan Inggris yang memiliki kondisi serupa dengan Jepang.

Secara teoritis, satu chip penentuan posisi dapat dirancang untuk menggabungkan semua sistem yang berbeda, tetapi kemungkinan hal itu bertentangan dengan undang-undang keamanan nasional AS, khususnya untuk sistem Glonass dan Beidou. Artinya, sebanyak internet terpecah menjadi kutub yang berbeda, chip pemosisian ponsel cerdas juga perlu dipecah untuk menangani pasar lokal. Hal tersebut dapat menimbulkan harga yang lebih tinggi bagi konsumen, dan rantai pasokan yang lebih keras berlaku bagi produsen perangkat.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Tanayastri Dini Isna
Editor: Rosmayanti

Bagikan Artikel: