Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Amnesty: Etnis Uighur Dipaksa Bersumpah Setia ke Xi Jinping

Amnesty: Etnis Uighur Dipaksa Bersumpah Setia ke Xi Jinping Kredit Foto: Reuters/Petar Kujundzic
Warta Ekonomi, Jakarta -

Penindasan yang dialami etnis Uighur di Xinjiang, China, kembali menyeruak ke permukaan sejak beberapa waktu terakhir.

Komunitas internasional, baik pers, tokoh politik serta lembaga kemanusiaan telah bersikap dan mengecam dugaan kuat pelanggaran HAM yang dialami etnis Uighur.

Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan telah menerima berbagai laporan dari sumber-sumber kredibel bahwa terdapat 1 juta etnis Uighur ditahan di suatu kamp pengasingan yang terselubung. Mereka dipaksa mengikuti program "Kamp Indoktrinasi Politik" yang di dalamnya diduga terdapat upaya pelunturan keyakinan yang dianut warga Uighur.

Di laman laporan tentang Uighur itu, Komite PBB untuk Penghapusan Diskriminasi Rasial melaporkan tindakan keji yang dilakukan Pemerintah China.

Dalam laporan investigasi itu disebutkan, Pemerintah Cina telah menahan sekitar satu juta jiwa orang yang diduga berasal dari etnis Uighur.

Penahanan Muslim Uighur itu dilakukan di salah satu tempat kamp interniran (kamp pengasingan) yang berukuran besar, berjarak cukup jauh dari Pusat Kota Xinjiang.

Tidak hanya dari PBB, laporan pelanggaran hak asasi Etnis Uighur ini juga didukung oleh investigasi LSM HAM Amnesty Internasional dan Human Right Watch.

Amnesty International dan Human Right Watch mengungkapkan bahwa sejumlah etnis Uighur di Xinjiang dipaksa untuk bersumpah setia kepada Presiden China Xi Jinping. Tak sedikit dari mereka yang ditahan tanpa alasan dan batas waktu. Lokasi penahanan besar ini salah satunya diduga berada di area terpencil, bernama Dabancheng.

Meluas dari wilayah Dabancheng, investigasi lebih lanjut sejumlah pihak bahkan menyebut ada ratusan fasilitas keamanan lain yang dibangun di Xinjiang sampai akhir 2018 ini.

Sebuah lembaga ruang angkasa multinasional bernama GMV memiliki data tentang jumlah pasti fasilitas keamanan yang mereka temukan dari pantauan satelit khusus.

Analisis terbaru menyatakan sedikitnya ada 101 fasilitas keamanan tingkat tinggi yang terdeteksi di Xinjiang.

Meski Pemerintah China menyangkal bahwa fasilitas tersebut hanya sebagai gedung pendidikan vokasi (keahlian khusus), tapi banyak bukti satelit menunjukkan hal yang berbeda.

Identifikasi GMV menyatakan, fasilitas keamanan yang mereka temukan lebih mengarah ke fasilitas tertutup, raksasa, punya pagar besi dan beton, dan punya menara pemantau untuk mengontrol pergerakan siapapun di dalamnya. Ini serupa dengan sebuah penjara raksasa ketimbang bangunan pelatihan.

Direktur Amnesti Internasional Indonesia, Usman Hamid, mengatakan etnis Uighur mendapat perlakuan diskriminatif di Xinjiang, China.

Perlakuan diskriminatif di antaranya dilarangnya mengenakan hijab bagi perempuan di tempat-tempat publik, menumbuhkan jambang dan jenggot bagi anak-anak muda, berpuasa atau memiliki buku dan artikel dengan tema Islam, ujar Usman Hamid usai diskusi Mengungkap Fakta Pelanggaran HAM Terhadap Etnis Uighur beberapa waktu lalu di Jakarta.

Amnesty Internasional mewawancarai 100 warga etnis Uighur untuk mengetahui situasi yang mereka hadapi.

"Kami menemukan bahwa ada satu juta etnis Uighur yang dimasukkan ke dalam Kamp Indoktrinasi Politik," ujar Usman Hamid.

Satu juta itu, kata dia, 10 persennya dari populasi Uighur yang berjumlah sekitar 11,3 juta orang. Mereka yang dimasukkan ke dalam kamp itu dituduh sebagai ekstremis, tapi tidak ada bukti-bukti yang ditemukan, kata dia.

Sebanyak satu juta orang itu sebagian besar tidak diketahui pasti keberadaannya karena mereka terpisah dengan keluarga. Sampai saat ini keluarga mereka tidak tahu dimana keberadaannya.

Selain itu, Amnesti Internasional menulis surat kepada pihak China antara lain otoritas penjara, pemerintah otonom di Xinjiang dan pemimpin dari pemerintahan Tiongkok.

Amnesti Internasional mendesak agar warga etnis Uighur yang ditahan segera dibebaskan.

"Kami juga mendesak Pemerintah China agar segera menghentikan represi tersistematis itu dan memberikan penjelasan mengenai nasib sekitar satu juta Muslim yang ditahan di daerah otonom Uighur, di Xinjiang, China," ujar dia.

Sementara itu, Wakil Ketua DPR RI Fadli Zon mendesak pemerintah Indonesia untuk bersikap tegas dan jelas dalam membela etnis Uighur di Xinjiang, Tiongkok.

Dari laporan yang dikeluarkan lembaga maupun institusi internasional, penindasan maupun perlakuan diskriminatif pemerintah Cina terhadap muslim Uighur sudah berlangsung lama, ujar dia.

Indonesia sebagai negara dengan populasi umat Islam terbesar di dunia harus berani bersuara lantang untuk menghentikan pelanggaran HAM yang dialami masyarakat muslim Uighur di China.

Dengan demikian, Indonesia harus proaktif dan independen dalam menentukan sikap terhadap perlakuan diskriminatif yang dialami etnis Uighur.

Ia menjelaskan proaktif itu Indonesia tidak boleh hanya menonton saja bahwa ada pelanggaran hak asasi manusia di Xinjiang, China.

Kedekatan hubungan Indonesia dengan China di berbagai bidang dapat menjadi modal untuk melakukan pendekatan persuasif terhadap negeri tirai bambu itu.

Sementara itu Wasekjen MUI Pusat Amirsyah Tambunan mengatakan bahwa kasus persekusi terhadap komunitas Muslim Uighur oleh pemerintah China dapat mengancam hubungan bilateral Indonesia dengan negara Tirai Bambu itu.

Apabila pemerintah China tidak melakukan upaya konkret terhadap atas tindakan diskriminatif dan sewenang-wenang itu, maka hubungan bilateral Indonesia dengan China bisa bermasalah baik di bidang politik, ekonomi dan sosial, ujar dia.

Penindasan terhadap etnis Uighur tersebut, lanjut dia, sangat bertentangan dengan kemanusiaan dan tidak dibenarkan oleh agama apapun.

Ia mengatakan bahwa tindakan tersebut juga sangat bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 serta melukai perasaan masyarakat Indonesia.

"Agar tindakan terkutuk itu tidak terulang, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) harus mengambil sikap untuk menghentikan penindasan yang menimpa etnis Uighur," ujar dia.

PBB sebaiknya tidak hanya mengecam penindasan itu, namun harus melakukan upaya nyata bagaimana menghentikan tindakan kekerasan yang dialami etnis Uighur.

Karena, lanjut dia, bahwa orang ingin beribadah merupakan hak asasi paling mendasar apapun agamanya. Kebebasan hak asasi manusia yang tidak boleh tercederai terhadap orang yang ingin menjalankan keyakinannya.

Keterbukaan informasi Pemerintah Indonesia dapat menyarankan kepada Tiongkok untuk membuka akses informasi sehingga dapat memberikan gambaran yang komprehensif dan jelas terhadap apa yang terjadi di Xinjiang.

Pengamat Hubungan Internasional Universitas Indonesia, Agung Nurwijoyo, mengatakan gambaran yang komprehensif itu dapat menghapus kecurigaan global atas kasus Uighur.

Indonesia mempunyai peranan yang signifikan karena Indonesia merupakan negara muslim terbesar di dunia, anggota Dewan Keamanan PBB, dan memiliki hubungan bilateral yang baik dengan Cina.

Agung mengatakan Indonesia dapat menggunakan forum multilateral maupun bilateral untuk menjembatani penyelesaian permasalahan etnis Uighur.

Forum multilateral seperti Sidang PBB, KTT ASEAN, dan OKI mungkin bisa digunakan Indonesia, ucapnya.

Disamping itu, pemerintah Indonesia butuh kalkulasi yang tinggi dalam mengambil sikap terkait kasus etnis Uighur.

Karena saya lihat negara-negara dunia Islam pun belum banyak yang bersuara, dan Indonesia masih menunggu. Perlu diingat bahwa respon sekeras apapun itu akan memberikan dampak balik kepada Indonesia, ujarnya.

Ia meyakini Indonesia akan mengambil langkah "soft diplomacy" untuk merespon kasus etnis Uighur mengingat besarnya investasi negeri tirai bambu itu yang ditanam di dalam negeri.

Soft diplomacy akan diambil oleh Indonesia untuk menghindari balasan pemerintah Cina seperti embargo, ujar dia.

Secara global, lanjut dia, ketergantungan terhadap Cina begitu besar. Negara-negara Islam maupun Afrika itu tergantung dari investasi Cina.

"Kita tidak bisa memungkiri fakta itu bahwa banyak negara yang tergantung dengan investasi Cina. Jadi di luar masalah kemanusiaan, kalkulasi politik menjadi pertimbangan untuk memberi respon. Karena pernyataan apapun kan pernyataan politik. Sementara respon keras pasti akan memberikan feed back balik," ungkap dia.

Baca Juga: Pria Buleleng Diringkus usai Curi Tabung Gas-Barang Elektronik

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Kumairoh

Bagikan Artikel: