Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Perbaiki Facebook, Seharusnya Zuckerberg Belajar dari Sejarah Romawi Kuno

Perbaiki Facebook, Seharusnya Zuckerberg Belajar dari Sejarah Romawi Kuno Kredit Foto: Reuters/Aaron P Bernstein
Warta Ekonomi, Jakarta -

Tampaknya Mark Zuckerberg tidak berhati-hati dalam mempelajari potongan sejarah dari zaman kuno klasik favoritnya, sehingga kini ia dihadapkan dengan krisis 'berita palsu' yang merusak kepercayaan dan demokrasi di kerajaan Facebook buatannya.

Baru-baru ini, salah satu New Yorker mempertanyakan kapabilitas pendiri Facebook itu dalam memperbaiki sistem dari media sosial tersebut, sebelum kembali mendapat tekanan. Facebook sendiri berperan besar dalam demokrasi, seperti peranan Brutus kepada Caesar pada kekaisaran romawi. Bagaikan konspirasi, ternyata pendiri Facebook menyimpan kekaguman khusus terhadap Augustus, kasiar Roma yang pertama.

Melansir Techcrunch pada Rabu (26/12/2018), CEO Facebook Mark Zuckerberg mengungkapkan, "Pada dasarnya, melalui pendekatan yang benar-benar keras, ia (Augustus) membangun perdamaian dunia selama 200 tahun."

Ia juga menambahkan, ada beberapa "pertukaran" atau pengorbanan yang harus dilakukan untuk mendapatkan hasil yang luar biasa itu. Mungkin, hal tersebut yang membuatnya melakukan "pertukaran"-nya sendiri dalam memaksimalkan pertumbuhan sistem Facebook. Namun, sepertinya hasil yang didapatkan sangat berbeda dengan milik Augustus.

"Kekaisaran" yang Terluka

Mengesampingkan fakta tentang pembunuhan banyak orang yang dilakukan masyarakat Romawi, mereka tergolong cerdik karena dapat merancang banyak hal baru. Namun, populasi yang berada di bawah kepemimpinan Augustus mungkin tak menduga jika kini terjadi distribusi informasi secara masif hanya dengan mengandalkan kecepatan dan jangkauan internet.

Apalagi, dengan eksistensi monster penyebar data, yaitu Facebook. Techcrunch mendefinisikannya sebagai kerajaan informasi yang melakukan usaha terbaiknya untuk melibatkan seluruh elemen internet ke dalam perusahaannya.

Adapun hal yang membedakan kerajaan Romawi dengan "kerajaan internet" Facebook, kecepatan penyebaran informasi di dalamnya. Literasi di Roma Kuno membatasi pengakses informasi yang mereka hasilkan, butuh waktu yang tergolong lama untuk mendistribusikannya melalui mulut ke mulut.

Sementara keadaan internet pada zaman ini sudah serupa dengan pertemuan fisik yang melibatkan beragam interaksi manusia. Informasi bergerak cepat layaknya seorang asisten hewan memindahkan pesan di zaman Romawi.

Untuk distribusi berita regular, Romawi Kuno memiliki Acta Diurna, lembaran berita harian yang diproduksi oleh pemerintah. Terdapat garis koordinasi yang resmi pada acara-acara penting publik. Teks tersebut awalnya diukir di atas batu atau logam, kemudian dibagikan dengan diekspos di tempat umum yang banyak pengunjungnya. Terkadang, Acta juga digambarkan sebagai surat kabar proto sebab terdapat campuran berita di dalamnya.

Julius Caesar memuat risalah pertemuan senat dalam Acta. Sesuatu yang tidak dilakukan Zuckerberg pada situs Facebook-nya. Ia justru menyimpan catatan debat politik yang penting dari ruang publik.

Penulis Frederick Cramer menuliskan ini dalam artikelnya, "Berita dalam Acta Diurna hanya berisi bagian-bagian dari debat senator yang dianggap pantas diterbitkan oleh pemerintah kekaisaran."

Augustus, cucu keponakan dan putra adopsi Caesar, tidak ingin lawan politik menggunakan jalan keluar untuk mempengaruhi pendapat publik. Ia juga belum menerima fakta, paman buyutnya telah dibunuh dalam plot pembunuhan berencana oleh para senator yang berkonspirasi.

Namun, di bawah kepemimpinan Augustus, Acta Diurna justru menjadi corong "faksi monarkis".

"Ia percaya metode tersebut tidak lebih berbahaya daripada memberangus para senator secara langsung," begitulah penilaian Cramer tentang keputusan Augustus untuk menghentikan publikasi protokol senator.

Hal itu membatasi suara-suara fisik di senat yang diajukan terhadapnya dapat menyebar lebih luas ke publik. Menurut Cramer, itu dapat berujung pada anggapan dirampasnya ruang berpendapat publik pada platform resmi oleh pemerintahan.

Bahkan, Augustus juga melarang penulisan anonim sebagai upaya pengendalian serangan pemberontak yang didistribusikan melalui pamflet. Ia juga memanfaatkan kekuasaannya untuk memerintahkan pembakaran tulisan-tulisan yang memberatkan. Begitu pun dengan hukuman mati yang diberikan kepada para penulis yang dianggap membelot terhadapnya.

Kegagalan untuk Perbaiki Kesalahan

Langkah yang diambil Augustus sebagai Kaisar Roma yang pertama menunjukkan pemahamannya atas kekuatan publicare et propagare (penerbitan dan propaganda) sangat baik. Ironi besar karena kini Zuckerberg dinilai gagal belajar dari kesalahannya dalam waktu yang lama, membiarkan api amarah terhadap isi berita palsu hingga itu membakar kursi kekuasannya.

Alih-alih menjadi komunitas yang dicari publik, merek dan bisnis Facebook justru semakin menyerupai lapisan kue palsu yang dipenuhi dengan ucapan kebencian. Di dalam komunitas palsu, ada akun palsu, berita palsu, iklan tidak otentik, verifikasi palsu, dan matriks yang dipertanyakan. Ditambah lagi, 1 ton putaran dan pengalihan kesalahan yang dihasilkan oleh perusahaan itu sendiri.

Ada beberapa propraganda suram pula di Facebook, seperti firma PR Facebook yang beberapa tahun terakhir menutupi serangkaian skandal penurunan reputasi perusahaan dilaporkan menekan paksa suara-suara kritis dengan menebarkan sedikit noda inflamasi atas namanya.

Mungkin, Zuckerberg terlalu mendalami pergulatan berdarah Romawi Kuno, sehingga ia mengikuti kepemimpinan yang dilakukan kaisar pertama tersebut di dunia yang sangat modern ini. Seharusnya, ia lebih selektif dalam menerapkan sesuatu yang ia kagumi dari masa romawi.

Hingga 2017, Zuckerberg berniat bertransformasi dari pro-speech default dan permusuhan sistematis terhadap privasi, menjadi "lebih terbuka dan terhubung" sebelum ia mengabaikan penggunanya dan sanksi sosial yang mungkin diterima oleh situsnya.

Ia pun memiliki kesempatan untuk merevisi pernyataannya satu setengah tahun lalu dan mengaku telah mengacau dengan mengira-ngira ambisinya yang mengubah dunia yang megah untuk tujuan yang layak.

Namun, tentu saja dia menyangkal, mengklaim akan membuat kerajaan internet (ia menyebutnya komunitas) Facebook miliknya berjuang untuk mencapai hasil yang positif. Ia dianggap gagal belajar dari kesalahannya yang lalu dan membiarkan kerajaannya ternodai oleh amarah karena isu berita palsu.

Pada akhirnya, Zuckerberg tak sepenuhnya mengikuti Augustus. Ia menyusun kembali misi Facebook, yakni memberi orang kekuatan untuk membangun komunitas dan mendekatkan dunia lebih dekat dalam kebersamaan.

Berbanding terbalik dengan misi itu, terdapat Komunitas Neo-Nazi dan supremasi kulit putih yang berkembang di Facebook—bukankah itu malah menebarkan kebencian? Jadi, pernyataan ulang mengenai misi Facebook dapat dianggap sebagai pengakuan tersirat, situs itu dapat membantu menyebarkan kebencian dengan mengharapkan hasil berlawanan. Bahkan, ketika Zuckerberg terus menyuarakan suara-suara untuk menyangkal kemarahan, seperti Holocaust, definisi utama dari kebencian antisemit.

"Dulu saya berpikir jika kita memberikan suara kepada orang dan membantu mereka terhubung, itu akan membuat dunia lebih baik dengan sendirinya. Dalam banyak hal, itu berhasil, tetapi masyarakat kita masih terpecah," tulisnya pada Juni 2017.

Hal tersebut seolah menunjukkan keengganannya dalam menanggung beban sosial yang harus diterimanya sebagai pendiri platform Facebook.

Akhirnya ia melanjutkan, "Sekarang saya percaya kami memiliki tanggung jawab untuk melakukan lebih banyak lagi. Tidak cukup hanya dengan menghubungkan dunia, kami juga harus bekerja untuk mendekatkan dunia."

Tantangan untuk Perbaiki Facebook

Tahun ini dipenuhi tantangan bagi Zuckerberg secara pribadi, sekaligus dalam memperbaiki Facebook. Tak hanya itu, ia juga membela diri dengan membiarkan Holocaust menghina platform-nya. Kemudian, ia memperingatkan pandangan tersebut sebagai hal yang "sangat ofensif", sesuai dengan kebijakan konten Facebook sejak 1 dekade lalu.

Baru-baru ini, Facebook juga dihadapkan dengan konsekuensi dari kegagalan moral dan etika karena bergulat dengan propraganda kebencian dan berita sampah. Menanggapi hal itu, Facebook mengaku akan membentuk komite kebijakan eksternal untuk menangani beberapa keputusan kebijakan konten di tahun depan.

Namun, cara kerja komite tersebut belum jelas, hanya pada tingkat daya tarik yang lebih tinggi dan selektif atau diulas hingga lapisan internal standar. Belum ada pernyataan jika komite itu independen dari Facebook. Ada kemungkinan, komite itu hanya bagian dari taktik pengalihan, mirip dengan seri "Har Questions" milik Facebook.

Misi yang direvisi, tujuan pribadi, dan cambukan dari posting-an personal blog—semua seakan memperburuk pandangan terhadap Facebook secara khusus, serta media sosial secara umum. Kemarahan dan keraguan publik terhadap media sosial kian menguat.

Dua tahun setelah pengungkapan propaganda Pemilu Kremlin dengan jahat menargetkan Pemilihan Presiden Amerika Serika telah membuat ratusan juta pengguna Facebook marah. Belum lagi kemarahan baru yang ditemukan menyebar dan menyerang platform media sosial lain. Hal itu membuat media sosial dianggap sebagai "media antisosial".

Zuckerberg, panglima perang muda di kategori teknologi self-hyping media sosial, lebih menyerupai "Augustus yang kejam" daripada "Ozymandias yang modern". Ia membicarakan tentang misi pemersatu sambil terus tenggelam oleh suara dan amarah yang datang dari pengguna platform yang dibangunnya untuk mengambil keuntungan dari konflik.

Meskipun begitu, pemimpin muda itu dinilai masih mempercayai pekerjaan-pekerjaan besar yang bahkan belum pernah ia lakukan.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Tanayastri Dini Isna
Editor: Rosmayanti

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: