Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Belajar dari Perang Sipil Inggris, Facebook Harusnya Lakukan Hal Ini

Belajar dari Perang Sipil Inggris, Facebook Harusnya Lakukan Hal Ini Kredit Foto: Techcrunch
Warta Ekonomi, Jakarta -

Kebocoran data, menjadi platform yang dipenuhi ujaran kebencian, beredarnya beragam berita palsu, membuat Facebook harus menghadapi kemarahan penggunanya, khususnya di tahun ini.

CEO Facebook, Mark Zuckerberg, dinilai memaksakan diri untuk menerapkan sistem Kaisar Roma yang pertama, Augustus dalam mengatasi masalah-masalah tersebut. Jika saja ia melihat pada periode berbeda dalam sejarah, seperti Perang Sipil Inggris, mungkinkah hasilnya akan berbeda?

Pada Perang Sipil Inggris pada tahun 1640-an, banyak topik studi untuk memahami dan membongkar dampak sosial dari fenomena modern media sosial. Hal itu berkaitan dengan kesejajaran historis masyarakat yang berubah pada revolusi informasi. Salah satu hasil studinya menyebutkan, perilaku pengguna harus diperhatikan dalam membuat kebijakan.

Sekilas, mungkin melihat jauh ke masa lalu untuk memahami dampak sosial dari teknologi komunikasi mutakhir terlihat kontradiktif. Namun, platform internet juga alat sosio-teknis sehingga dalam pemahamannya, perilaku pengguna atau individunya tak boleh diabaikan.

Penemu World Wide Web, Tim Berners-Lee, beberapa waktu lalu mengatakan, “Saat kami merancang sistem, kami juga merancang masyarakat.”

Dengan memahami perilaku pengguna, pendiri platform media sosial bisa membuat kebijakan dengan tepat. Namun, berdasarkan gaya Zuckerberg, mencari cara untuk merespons konsisten terhadap setiap tindakan positif dan negatif manusia membutuhkan waktu hingga 1 dekade.

Sementara, Mitchell Baker dari Mozilla meminta agar etika dan kemanusiaan dimasukkan ke dalam pembelajaran jurusan Sains, Teknologi, Teknik, dan Matematika.

“Jika pendidikan tidak diiringi pengetahuan humaniora dan etika, serta tidak memahami perilaku manusia, artinya kita dengan sengaja membangun generasi teknologi berikutnya tanpa kerangka kerja atau pendidikan untuk memikirkan hubungan tersebut,” jelas Baker, dilansir dari Techcrunch, Rabu (26/12/2018).

Lantas apa hubungan perilaku pengguna media sosial dengan Perang Sipil Inggris?

Pada 1641, rezim lama Inggris runtuh dalam penyensoran monarki. Hal itu membuat banyak pidato dan ide-ide sebagai medium propaganda tersebar luas dalam bentuk pamlet. Di dalamnya, terdapat pandangan politik radikal dari kelompok-kelompok tertentu, menata konsep demokrasi bangsa itu menjadi demokrasi liberal.

Kondisi itu serupa dengan cara media sosial yang secara radikal menurunkan hambatan distribusi untuk pidato secara daring. Siapapun dapat memposting hal-hal secara daring sehingga dapat menjangkau khalayak luas. Sama seperti keadaan di negara ini, saat media sosial dijadikan salah satu alat kampanye politik.

Paralel lainnya, ujaran kebencian etnis yang memanfaatkan teknologi informasi. Contohnya, dampak Facebook di Myanmar, di mana platform itu digunakan oleh militer untuk menghasut genosida terhadap populasi minoritas Rohingya—mengarah pada pelanggaran hak asasi manusia di era modern.

Melihat korelasi tersebut, memahami perilaku pengguna atau individu dalam suatu platform memang perlu dilakukan, agar dapat menyusun kebijakan dan batasan yang sesuai untuk mereka. Mungkin, solusi berdasarkan studi terhadap Perang Sipil Inggris ini dapat dipertimbangkan oleh para pengelola platform media sosial, khususnya Facebook.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Tanayastri Dini Isna
Editor: Kumairoh

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: