Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

2019, BI Pertahankan Stance Kebijakan Moneter yang 'Pre-emptive' dan 'Ahead The Curve'

2019, BI Pertahankan Stance Kebijakan Moneter yang 'Pre-emptive' dan 'Ahead The Curve' Kredit Foto: Yosi Winosa
Warta Ekonomi, Jakarta -

Meski telah melalui tahun 2018 dengan sejumlah capaian di bidang ekonomi moneter, diantaranya pertumbuhan kredit yang mencapau 12,45% dari tahun 2017 8%, IHSG yang mencapai 6.194 dan pertumbuhan PDB 5,2%. Namun Bank Indonesia mengakui di tahun 2019 masih banyak tantangan dan BI sudah menyiapkan kuda-kuda.

Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, menyatakan kebijakan moneter akan tetap difokuskan pada stabilitas, khususnya pengendalian inflasi sesuai sasaran 3,5+1%, stabilitas nilai tukar sesuai fundamentalnya. Sementara itu, kebijakan yang akomodatif akan terus ditempuh dan diperluas di bidang makroprudensial, sistem pembayaran, pendalaman pasar keuangan, pengembangan ekonomi keuangan syariah untuk mendorong momentum pertumbuhan ekonomi ke depan.

"Stance kebijakan moneter yang pre-emptive dan ahead-the curve akan dipertahankan pada 2019. Kebijakan suku bunga akan terus dikalibrasi sesuai perkembangan ekonomi domestik dan global
untuk memastikan inflasi terkendali sesuai sasaran dan nilai tukar rupiah stabil sesuai fundamentalnya," kata dia di sela acara Silaturahmi Awal Tahun Baru 2018 BI & OJK, Rabu (2/1/2019).

Ditambahkan, dari sisi kinerja ekonomi lainnya relatif akan lebih baik di tahun 2019, di saat yang sama stabilitas tetap terjaga. Pertumbuhan ekonomi tahun 2019 ditaksir mencapai 5-5,4%, titik tengahnya 5,2%, lebih baik dari estimasi PDB di 2018 sebesar 5,1 sekian persen, yang ditopang oleh sumber ekonomi domestik yang cukup kuat, dimana konsumsi tumbuh 5,2%, dan investasi 7%. Defisit transaksi berjalan atau CAD ditaksir membaik menjadi 2,5% dari estimasi tahun ini 3%. Neraca Pembayaran ditaksir tetap surplus di sekitar $4 miliar. Inflasi ditaksir sedikit melebar ke 3,5% dari tahun 2018 3,1%. Kredit tumbuh menjadi 12,45% dari 8%, DPK masih akan tumbuh di sekitar 10-12%. Namun demikian neraca perdagangan (net ekspor) diperkirakan akan negatif.

Untuk itu, instrumen moneter BI pada 2019 akan mengarah ke pro-stability untuk menjaga tingkat inflasi dan nilai tukar agar tetap stabil. Sementara 4 instrumen lain akan mengarah ke pro-growth yang cenderung relaksasi dan akomodatif, yaitu makroprudensial, pedalaman pasar keungan, sistem pembayaran dan ekonomi & keungan syraiah.

Rupiah Cenderung Menguat

Ditambahkan Perry, nilai tukar rupiah tahun 2018 lalu terdepresiasi 5,9 persen, dengan volatilitas di sekitar 8 persen, lebih baik dari India, Brasil Afsel, Turki dan Argentina. Menurut PErry, rupiah saat ini masih undervalue, dan kedepan akan tetap stabil malah cenderung menguat karena beberapa faktor.

Pertama, kenaikan suku bunga acuan bank sentral AS (fed fund rate/ FFR) yang diperkirakan akan naik lebjh rendah dari perkiraan awal. Kedua, kredibilitas kebijakan pemerintah. Ketiga,  mekanisme pasar valas yang makin berkembang. Keempat, kondisi CAD membaik.

Ditambahkan, stabilisasi nilai tukar rupiah dilakukan dengan terus mendorong semakin efisiennya mekanisme pasar, tanpa mengurangi keperluan intervensi ganda apabila diperlukan khususnya dalam kondisi pasar yang mendapat tekanan.

"Fiskal AS tidak mungkin akan terus-terusan ekspansif. Di awal 2018, partai republik kan menguasai di lower house dan upepr house maknaya rencana kebijakan stimulus fissal Trump disetujui. Padahal ekonomi AS di 2018 itu sudah tumbuh di atas output potensial, kalau ditambah stimulus fiskal akan lebih tinggi lagi dan inflasi akan meningkat. Ini yang bikin ketidakpastiaan di pasar keuangan di awal 2018. Lalu ada pemilu legislatif, itu demokrat mendominasi lower house dan segala pembahasan kebijakan harus melalui mereka. Makanya rencana Trump mohon untuk nambah budget untuk pembatasan AS dan Meksiko gak disetujui," papar Perry.

Dampaknya, tidak ada stimulus fiskal dan ujungnya akan membuat geliat ekonomi AS tidak setinggi sebelumnya. Diperkirakan PDB AS akan turun dari 2,5% menjadi 2%. Kedua, ini akan menurunkan convidence pelaku pasar terhadap kinerja pasar keuangan AS makanya ada koreksi saham.

"Yang perlu dicermati, bagaimana kelanjutan perundingan perdagangan antara AS dan Tiongkok yang saya bilang membaik karena makin ada tanda-tanda titik temu. Jadi dampak negatif yang diperkirakan sebelumnya tidak akan separah itu. Karena tidak memperburuk situasi ekonomi dan keuangan global, rupiah akan lebih stabil dan cenderung menguat," kata Perry.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Yosi Winosa
Editor: Kumairoh

Bagikan Artikel: