Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Benarkah Perda Larangan Plastik Rugikan Masyarakat?

Benarkah Perda Larangan Plastik Rugikan Masyarakat? Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Larangan penggunaan kantong plastik yang akan diterapkan sejumlah pemerintah daerah menuai beragam penolakan. Kebijakan ini dinilai memberatkan masyarakat, serta melanggar aturan hukum yang lebih tinggi, yaitu KUH Perdata. Contohnya aturan Pemprov DKI yang akan mengenakan sanksi denda Rp5 juta hingga Rp25 juta kepada toko ritel yang masih menyediakan kantong plastik.

Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah mengatakan, pemerintah pusat dan pemda dianggap keliru karena melarang kantong plastik, PS-Foam atau pun sedotan plastik, dengan alasan mengurangi sampah plastik. Seharusnya manajemen pengelolaan sampah (plastik) yang diperbaiki. Apalagi, saat ini belum ada yang bisa menemukan pengganti kantong plastik sebagai alat membawa belanjaan.

"Pelarangan kantong plastik adalah kebijakan instan yang tak solutif. Penggunaan kantong yang ramah lingkungan itu kan sampai hari ini belum ada penjelasan. Penggantinya apa, dari kain atau dari apa," kata Trubus.

Menurutnya, kendala utama ialah mengubah perilaku kebiasaan penggunaan kantong plastik di masyarakat. Utamanya bagi pedagang pasar, untuk itu tanggung jawab pemerintah adalah memberikan pemahaman yang massif, konsisten, dan tepat sasaran.

"Sebenarnya kebijakan publik itu kan harusnya memberikan solusi, bukan membebankan masyarakat. Kalau pedagang menengah bawah di pasar jika diberikan denda sampai Rp25 juta kan menjadi pertanyaan, layak tidaknya. Pengguna kantung plastik bukan perilaku kejahatan yang mesti diganjar dengan denda puluhan juta rupiah," tegas dia.

Pengenaan sanksi denda kepada toko ritel sebenarnya melanggar KUH Perdata, yang posisinya lebih tinggi dibanding Perda. Dalam aturan hukum, praktik jual beli pada Pasal 612 dan Pasal 1320 KUH Perdata menjadi kewajiban toko modern atau ritel dalam melayani pembeli harus dengan penyerahan barang secara lengkap bersama kantong belanja karena konsumen telah membayar barang berikut biaya kantong belanjaannya.

Di sisi lain, menurutnya, solusi untuk pedagang harus konkrit. Misalnya saja, pedagang pasar yang setiap hari bergantung pada penggunaan kantong plastik harus jelas pengganti plastik itu, kebijakan ini jangan sampai justru memberikan beban baru bagi masyarakat. 

Senada, Asosiasi Pengusaha Retail Indonesia (Aprindo) menyatakan penolakan terhadap larangan penggunaan kantong plastik untuk berbelanja di beberapa daerah. Pengusaha beralasan tidak ada aturan dari pemerintah pusat yang menuntut tiap daerah melakukan pelarangan.

"Kami tidak sepakat dengan adanya pelarangan penggunaan kantong plastik," kata Ketua Umum Aprindo Roy Mandey.

Dia mengatakan, harus ada kontrol pemerintah pusat dalam pengurangan sampah plastik. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) seharusnya mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) untuk menyelaraskan sikap pemerintah. Sementara yang terjadi saat ini, pelarangan penggunaan kantong plastik di daerah hanya berdasarkan peraturan gubernur, wali kota, atau bupati. Alhasil, konsumen menjadi bingung terhadap peraturan yang berlaku.

Sejumlah daerah yang telah memberlakukan kebijakan ini, di antaranya Banjarmasin dan Balikpapan, serta ke depan Bogor, Bandung, dan menyusul DKI Jakarta yang rencananya mulai diberlakukan pada Januari 2019 ini.

Penolakan lebih keras datang dari Green Indonesia Foundation melalui direkturnya, Asrul Hoesein. Menurutnya, pemda terlalu prematur mengambil kebijakan dalam menanggulangi sampah plastik, sebab sampai hari ini belum ada hasil penelitian resmi yang menyatakan ada plastik berkualitas ramah lingkungan.

"Tidak ada alternatif lain untuk kantong yang murah dan massal selain kantong plastik konvensional. Selain itu, volume sampah kantong plastik lebih sedikit dibanding jenis produk kemasan plastik lain yang berakhir menjadi sampah. Kenapa hanya kantong plastik yang disorot tajam oleh sebuah kebijakan," ujar Asrul mempertanyakan.

Ia menambahkan, seharusnya pemerintah membuat analisis solusi yang komprehensif dari semua jenis sampah untuk mendapatkan solusi yang menguntungkan semua pihak. 

"Sampah sangatlah mudah diatasi bila membahasnya secara lengkap tanpa unsur kepentingan pribadi maupun kelompok," ujarnya.

Larangan penggunanaan kantung plastik kian pelik setelah kebijakan tersebut dibarengi rencana pengenaan cukai untuk produk kantong plastik yang tentunya bakal berdampak pada Industri Kecil dan Menengah (IKM).

Terkait kebijakan penerapan cukai ini, secara tegas Kementerian Perindustrian menyatakan keberatannya. Ini dikarenakan permasalahan sampah plastik tidak terletak pada produknya, tetapi bagaimana manajemen sampah plastik.

Achmad Sigit Dwiwahjono, Direktur Jenderal Industri Kimia, Tekstil, dan Aneka (IKTA) Kemenperin mengatakan, industri yang memproduksi kantong plastik didominasi sebesar 80% oleh IKM. Industri-industri tersebut kebanyakan berusaha hanya dengan satu atau dua unit mesin.

"Terkait cukai, Kemenperin tidak setuju karena industri yang memproduksi plastik kantong 80% IKM dan secara teknologi, masalah sampah plastik sebenarnya bisa diselesaikan. Permasalahan sampah plastik tidak terletak pada produknya, tetapi bagaimana manajemen sampah plastik," ujar Sigit.

Terkait masalah perilaku masyarakat, dia berpendapat, mau tidak mau harus diubah. Pasalnya, negara lain mampu mengatasi masalah sampah plastik tanpa mengenakan cukai, seperti Jepang.

"Saya lihat di Jepang, di dalam satu rumah terdapat 5-7 kotak sampah. Solusinya bukan di cukai," jelas Sigit.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Rosmayanti

Bagikan Artikel: