Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Menembus Gelap, Memanen Madu Hutan

Menembus Gelap, Memanen Madu Hutan Kredit Foto: RAPP
Warta Ekonomi, Jakarta -

Brad Sanders harus menempuh perjalanan panjang menembus hutan gambut untuk melihat secara langsung panen madu hutan. Di dalam selimut udara pagi ia berhasil memanen 150 kg madu hutan.

Dari sekian banyak produk non-kayu, madu hutan merupakan salah satu komoditas unggulan masyarakat yang hidup dan tinggal di dalam kawasan dan sekitar hutan. Oleh masyarakat lokal, hasil panen madu hutan akan dikonsumsi sendiri atau dijual. Madu hutan sangat dikenal sebagai sumber energi dan pengganti gula.

Madu bisa dengan mudah didapat namun kesempatan untuk melihat proses panennya yang masih syarat dengan kearifan lokal bisa jadi sulit ditemukan. Pengalaman berbeda ini dialami Kepala Operasional Restorasi Ekosistem Riau Brad Sanders kala menyambangi Dusun Sangar, Desa Pulau Madu di Teluk Meranti. Di desa ini ia bertemu dengan Pak Sadam yang akan mengajak Brad Sanders untuk melihat secara langsung keunikan proses panen madu hutan.

Berjalan di bawah sinar matahari yang terik, keringat perlahan mengaliri kulit saat Brad melakukan perjalanan menuju lokasi pemanenan madu. Bersama-sama mereka berjalan melalui jalur yang dipenuhi dengan batang kayu besar, berbagai tanaman merambat, pohon berduri, serta akar bergelombang yang tertutupi daun. Beratnya medan membuat mereka beberapa kali jatuh ke lubang-lubang gambut hingga lutut mereka basah dan berlumpur.

Di lokasi pemanenan, masyarakat petani madu telah membuat tangga dari kayu dan tali rotan demi meraih puncak pohon madu sialang. Pohon yang akan dipanen hari itu dikenal dengan nama lokal pulai rawa (alstonia pneumatophora). Lingkar pohon itu kira-kira dua meter di dasarnya dengan tinggi mencapai 60 meter.

Adapun, tangga yang dibuat hanya mencapai cabang terendah di mana sarang lebah pertama berada, kira-kira setinggi 30-35 meter di atas lantai hutan. Selanjutnya tangga akan disambung hingga mencapai puncak pohon ketika hari sudah gelap untuk menghindari sengatan lebah. 

Sekitar pukul 19:00 malam, mereka melanjutkan pekerjaan untuk membuat tangga sampai ke puncak pohon. Sementara salah seorang dari mereka membawa dua kulit pohon yang digulung sepanjang 1,5 meter yang telah dibakar dan digunakan sebagai obor yang akan dibawa ke dekat ke sarang lebah untuk menghalau lebah dari sarang. Jelang pukul 22:30, terdengar seseorang meneriakkan "Siap, langsung naik!"

Ritual panen madu Sialang dimulai. Saat itu Brad dan tim diminta untuk segera mematikan semua lampu dan seketika semua menjadi gelap. Hanya cahaya bintang yang menembus celah-celah kanopi hutan. Lalu terdengar suara nyanyian yang lantang dan nyaring dari salah satu pemanjat. Nyanyian itu menggunakan bahasa tradisional Melayu.

Ditemani alunan nyanyian, pemanjat lain mulai menyalakan ujung gulungan kulit kayu yang dipegang, dan meniup nyala api itu dengan kuat untuk mendapatkan nyala bara dan kepulan asap yang sempurna. Kemudian barulah lampu kepala yang dipakai oleh pemanjat sebelumnya dihidupkan untuk memberi bayangan pada pemanjat kedua. Pemanjat kedua lalu menaruh bergantian telapak tangan dan telapak kakinya beberapa sentimeter dari pohon tersebut tanpa menyentuh sehingga membentuk bayangan pada batangnya. Setelah itu ritual pun selesai.

Tak lama kemudian, kedua pemanjat tersebut mengikatkan tali di bahu mereka dan dengan lincah memanjat pohon setinggi hingga 60 meter tersebut. Setelah beberapa menit, para pemanjat mulai menjatuhkan sarang lebah ke tanah.

Selagi kedua pemanjat bekerja dan terus bernyanyi di atas pohon, terlihat bara berwarna kuning-jingga mulai berjatuhan ke lantai hutan. Obor digunakan untuk menghalau lebah, lalu seketika terdengar seperti sekelompok lebah yang mengamuk. Ternyata itu merupakan suara dari lebah-lebah yang terbang menjauhi sarang. Lebah-lebah tersebut tidak menyerang selagi Brad dan tim masih berada di dalam gelap.

Setelah beberapa menit, kedua pemanjat berteriak dan beberapa orang bergegas untuk menaikkan ember plastik berukuran 20 liter dengan menggunakan tali nilon. Tak lama kemudian, ember-ember yang dipenuhi sarang lebah turun. 

Satu jam kemudian, kumpulan madu pertama tiba. Ember plastik yang penuh dengan sarang lebah langsung ditumpahkan ke atas alat penyaring. Selanjutnya potongan besar sarang ini serta ratusan lebah mati di dalamnya, bercampur dengan manisnya nektar disaring melalui lapisan-lapisan rotan dan selanjutnya ditampung dengan kain nilon sebelum dialirkan ke dalam wadah plastik yang lebih besar, kira-kira 30 liter ukurannya.

Selanjutnya setiap potongan sarang lebah yang datang diperas dengan tangan untuk mengumpulkan setiap tetesan madu. Potongan sarang lebah pertama ini menghasilkan sekitar 8-10 kg madu. Beberapa menit kemudian, potongan sarang lebah yang lebih besar diturunkan dari atas. Proses itu terus berlanjut hingga pukul 04:30 pagi dan menghasilkan 150 kg madu hutan.

Salah satu upaya Restorasi Ekosistem Riau dalam mendukung masyarakat adalah dengan mendorong pemanfaatan produksi hasil hutan bukan kayu yang salah satunya yakni madu hutan. Dukungan terhadap para petani madu tersebut yakni dengan memberi nilai tambah hasil panen menjadi sebuah produk Madu Hutan Riau, membantu promosi, dan mengembalikan hasil penjualan kepada masyarakat.

Pengembangan produk Madu Hutan Riau dilakukan oleh RER melalui kerja sama dengan Koperasi Jasa Tani Merbau Sejahtera (KJTMS). Para petani madu yang tergabung di dalam KJTMS menyerahkan hasil panen kepada RER untuk kemudian dikemas menjadi Madu Hutan Riau. Madu ini dikemas sebagai madu murni yang belum melalui proses fisik maupun kimiawi sehingga masih mengandung sekitar 20-22% air.

Saat Brad ingin beranjak pulang, Pak Sadam meminta mereka untuk membawa pulang sebagian hasil panen madu malam itu. Salah seorang dari mereka melontarkan candaan, "Bawalah madu ini sekarang, mumpung gratis. Karena besok kalian harus bayar".

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Cahyo Prayogo
Editor: Cahyo Prayogo

Bagikan Artikel: