Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Langkah Malaysia Lawan UU Diskriminatif UE Soal Minyak Kelapa Sawit

Langkah Malaysia Lawan UU Diskriminatif UE Soal Minyak Kelapa Sawit Kredit Foto: Antara/Raisan Al Farisi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Pada Desember 2018 lalu, Majelis Nasional Perancis menerapkan amandemen baru, yang mengecualikan penggunaan minyak kelapa sawit sebagai bahan baku biodiesel dan mengakhiri insentif pajak minyak kelapa sawit pada 2020.

Aturan tersebut dinilai diskriminatif oleh Menteri Luar Negeri Malaysia, Saifuddin Abdullah. Larangan defacto itu akan membuat minyak sawit sangat tidak ekonomis, menyebabkan kenaikan harga 30-40%.

"Langkah ini secara tidak langsung akan mendukung produk rumahan Eropa, khususnya minyak lobak dan bunga matahari," kata Saifuddin melalui keterangan resminya yang diterima di Jakarta, Rabu (16/1/2019).

Tindakan tersebut, lanjutnya, bisa memperlemah ekonomi global, terutama untuk negara-negara penghasil kelapa sawit, seperti Malaysia. Hal ini tentu merugikan 650.000 petani kecil dan 2 juta warga Malaysia yang sangat tergantung pada industri untuk mata pencaharian mereka.

"Sungguh ironis, tanaman minyak lain tidak tunduk pada persyaratan ketat yang sama seperti yang dituntut dari minyak sawit. Ini diskriminatif dan berbau standar ganda," jelas Saifuddin.

Masalah pun semakin rumit karena Majelis Nasional Perancis memutuskan memperlakukan biofuel dari minyak kelapa sawit sebagai bahan bakar biasa, bukan sebagai bahan bakar hijau. Hal ini tampaknya didasarkan pada persepsi yang salah kaprah bahwa minyak sawit terkait dengan deforestasi.

Menlu Negeri Jiran ini pun menegaskan, "Karena masalah yang mengganggu ini, kami menyerukan kepada negara-negara Uni Eropa untuk menolak langkah apa pun yang menghalangi penggunaan biofuel minyak kelapa sawit."

Saifuddin menjelaskan bahwa penggunaan biofuel berbasis minyak kelapa sawit harus didukung karena sejumlah alasan berikut:

1. Larangan yang diusulkan jelas merupakan tindakan diskriminasi. Tidak ada biji minyak atau tanaman yang mengandung minyak yang ditargetkan secara negatif seperti pada industri kelapa sawit.

2. Langkah ini melanggar peraturan WTO dan bertentangan dengan semangat globalisasi dan perdagangan bebas, yang sangat ingin didukung dan dilindungi oleh negara-negara Uni Eropa.

3. Tanaman minyak lain justru menghasilkan minyak lebih sedikit per hektare-nya dibandingkan dengan minyak kelapa sawit. Artinya, minyak kelapa sawit merupakan salah satu tanaman biji minyak yang paling efisien dan hemat biaya, serta akan menguntungkan produsen dan konsumen.

4. Belum ada penelitian yang secara meyakinkan mengindikasikan dampak buruk minyak kelapa sawit terhadap kesehatan. Sebaliknya, banyak penelitian yang malah membuktikan adanya manfaat kesehatan dari minyak kelapa sawit.

5. Malaysia berkomitmen untuk memproduksi minyak sawit berkelanjutan. Perkebunan kelapa sawit Malaysia adalah yang pertama memperoleh sertifikasi Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Melalui skema sertifikasi Minyak Sawit Berkelanjutan Malaysia (MSPO) wajib, setiap tetes minyak sawit yang diproduksi di Malaysia akan disertifikasi secara berkelanjutan pada 2020.

Baca Juga: Pemprov Bali Bakal Sediakan Loket Pungutan Wisman di Terminal Domestik Bandara

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Rosmayanti

Bagikan Artikel: