Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Saran CIPS Buat Pemerintah: Benahi Produktivitas Gula Nasional

Saran CIPS Buat Pemerintah: Benahi Produktivitas Gula Nasional Kredit Foto: Antara/Yusuf Nugroho
Warta Ekonomi, Jakarta -

Pemerintah disarankan untuk fokus membenahi permasalahan seputar gula nasional, mulai dari perkebunan (produktivitas) dan nonperkebunan (tingkat rendemen). Rendahnya produktivitas dan tingkat rendemen menjadi penyebab gula nasional sulit bersaing dengan gula impor.

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Assyifa Szami Ilman mengatakan, dari sisi on farm, produktivitas perkebunan tebu ditentukan oleh kesuburan tanah, ketersediaan tenaga kerja, sistem irigasi, dan penerapan teknologi.

"Sementara dari sisi off farm, pemerintah perlu menjalankan upaya revitalisasi pabrik gula dan penggilingan tebu untuk memperbaiki tingkat rendemen gula," kata dia melalui keterangan tertulisnya, Kamis (24/1/2019).

Berdasarkan data dari United States Department of Agriculture (USDA) 2018, produktivitas perkebunan tebu di Indonesia hanya mencapai 68,29 ton per hektare di 2017. Jumlah ini lebih rendah daripada negara-negara penghasil gula lain, seperti Brasil sebesar 68,94 ton per hektare dan India 70,02 ton per hektare dalam periode yang sama.

Ilman menjelaskan, faktor lain yang memengaruhi produktivitas gula nasional, antara lain dampak buruk dari cuaca, ketidaksesuaian antara varietas tebu dengan lokasi pertanian yang tersedia, relatif tidak tersedianya tenaga kerja yang mampu menerapkan teknik budi daya tebu yang tepat, distribusi pupuk yang masih perlu ditingkatkan efisiensinya, dan juga minimnya pengawasan terhadap penggunaan subsidi pertanian.

Selain itu, perusahaan gula juga sering dihadapkan pada sulitnya mendapatkan lahan pertanian yang lokasinya berdekatan dengan pabrik gula dan penggilingan tebu.

Sementara berdasarkan data USDA 2017, tingkat rendemen pabrik gula dan penggilingan tebu di Indonesia hanya mencapai 7,50% pada 2017/2018. Angka ini lebih rendah daripada negara-negara tetangga, seperti Filipina, Thailand, dan Australia yang tingkat rendemennya masing-masing mencapai 9,20%, 10,70%, dan 14,12%.

"Rendahnya tingkat rendemen ini tidak lepas dari usia pabrik penggilingan gula di Indonesia. Dari 63 pabrik di negara ini, sekitar 40 di antaranya berusia lebih dari 100 tahun dan yang tertua mencapai 184 tahun," ucap Ilman.

Selain karena usia pabrik gula dan penggilingan tebu yang kebanyakan sudah tua, nilai rendemen juga dipengaruhi oleh kualitas tebu, waktu potong yang diperlukan dan kualitas mesin pabrik. Peningkatan nilai rendemen dapat dilakukan, salah satunya melalui efisiensi pabrik gula.

Namun yang terjadi, walaupun pemerintah sudah menawarkan dukungan finansial, belum ada perubahan signifikan pada kinerja mesin pabrik penggilingan tebu. Hal ini, lanjut Ilman, dikarenakan pemilik pabrik enggan menghentikan proses produksi selama proses revitalisasi dilakukan. Revitalisasi dapat memakan waktu sekitar delapan bulan.

"Solusi yang dapat dilakukan antara lain dukungan pemerintah terhadap para petani tebu dan pabrik gula dan penggilingan tebu berupa pendampingan dalam penerapan praktik budi daya tebu yang lebih efisien. Pemerintah juga sebaiknya berinvestasi dalam pengembangan teknologi industri gula nasional. Tapi, bantuan ini juga harus diikuti target yang jelas agar hasilnya tepat sasaran dan memengaruhi produktivitas dan tingkat rendemen gula," pungkasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Rosmayanti

Bagikan Artikel: