Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

CIPS: Harga Pangan yang Terjangkau Perbaiki Masalah Gizi di Indonesia

CIPS: Harga Pangan yang Terjangkau Perbaiki Masalah Gizi di Indonesia Kredit Foto: Antara/Ari Bowo Sucipto
Warta Ekonomi, Jakarta -

Memperingati Hari Gizi dan Makanan dan jatuh setiap 25 Januari, salah satu permasalahan gizi yang masih banyak ditemui di Indonesia adalah malnutrisi. Salah satu yang bisa dilakukan untuk mencegahnya adalah dengan membuat harga pangan menjadi terjangkau.

Demikian yang dikatakan Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Assyifa Szami Ilman. Menurutnya, tingginya harga pangan pada akhirnya memang berdampak pada masyarakat, terutama masyarakat prasejahtera, karena 74% pengeluaran rumah tangga prasejahtera hanya dialokasikan untuk komoditas makanan.

"Ketidakmampuan masyarakat yang tergolong prasejahtera dalam membeli makan akan mendorong perubahan pada pola konsumsi, dimana pilihan jenis pangan semakin terbatasi oleh harga dan pada akhirnya memengaruhi asupan gizi masyarakat tersebut. Hal inilah yang pada akhirnya mendorong tumbuhnya kasus malnutrisi di Indonesia," ujar Ilman dalam keterangan resminya di Jakarta, Kamis (24/1/2019).

Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada 2013 yang dirilis oleh Kementerian Kesehatan, kasus kekurangan nutrisi pada anak seperti stunting (kerdil) dan wasting (kurus) masih berada dalam kondisi kronis dan akut mengingat dua kasus ini menimpa 37,2% dan 12,1% balita di Indonesia atau lebih dari sembilan juta balita. Kalau dibandingkan dengan kondisi di 2007, angka stunting berada pada 36,8% dan wasting berada pada 13,6%.

Dalam meningkatkan asupan nutrisi bagi masyarakat, Ilman melanjutkan, diperlukan kerja sama dan tindakan kolektif dari semua pihak. Masyarakat perlu mengubah pola makan agar lebih bernutrisi. Selain itu, pemerintah juga perlu melakukan sosialisasi mengenai pedoman gizi seimbang tersebut.

”Namun akan sangat disayangkan apabila makanan bernutrisi yang dibutuhkan tersebut pada akhirnya tidak akan mampu terbeli oleh masyarakat. Di sinilah peran harga pangan menjadi penting untuk diperhatikan pemerintah,” jelasnya.

Dalam kaidah ilmu ekonomi, lanjut Ilman, menurunkan harga komoditas dapat dicapai dengan meningkatkan jumlah barang yang ada di pasar. Selama ini, pemerintah masih kalang kabut dalam menyediakan data pangan yang benar, terutama beras dan jagung. Kementerian Pertanian selalu bangga dengan predikat surplus yang dicapai pada komoditas tersebut. Namun realita di pasar tidak mencerminkan harga yang sesuai sehingga Kementerian Perdagangan membuka keran impor agar harga pangan terjangkau, tentunya atas hasil Rapat Koordinasi di Kemenko Perekonomian yang dihadiri Kementerian terkait dan Bulog.

”Dengan mengandalkan harga sebagai parameter kondisi pasar, permintaan barang akan lebih terukur dengan baik. Dalam mendukung pencapaian hal ini, Bulog perlu diberikan keleluasaan untuk menganalisis kondisi pasar secara independen. Bulog selama ini mau tidak mau harus mengikuti instruksi Rapat Koordinasi yang cenderung tidak responsif dengan kondisi pasar yang sangat dinamis,” ungkapnya.

Selain itu, kembali Ilman menambahkan, pemerintah juga perlu menyadari bahwa kondisi sektor agrikultur Indonesia saat ini belum mampu mewujudkan swasembada pangan.

"Sampai saat ini Indonesia masih tetap bergantung dengan impor pangan. Atas dasar hal tersebut, sebaiknya pemerintah tidak perlu memperberat beban belanja masyarakat dengan mengenakan berbagai restriksi tarif dan non-tarif terhadap impor pangan," pungkasnya.

Baca Juga: Kader Gerindra Gantikan AWK Sebagai Anggota DPD RI, De Gadjah: Efektif Kawal Kebijakan dan Pembangunan

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Kumairoh
Editor: Kumairoh

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: