Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Tanggapi Faisal Basri, Menkeu: Kenaikan Beban Bunga Utang Bukan Hal Baru

Tanggapi Faisal Basri, Menkeu: Kenaikan Beban Bunga Utang Bukan Hal Baru Kredit Foto: Antara/Sigid Kurniawan
Warta Ekonomi, Jakarta -

Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, mengatakan tren kenaikan beban pembayaran bunga utang adalah sesuatu yang wajar. Hal ini menanggapi pernyataan ekonom Faisal Basri yang menyebutkan meskipun utang RI masih rendah tapi beban pembayaran bunga utang terus meningkat.

"Jadi saya hanya ingin menyampaikan, yang disampaikan (faisal basri) bukan sesuatu hal yang baru. Adalah sesuatu yang logis," kata Sri Mulyani disel konferensi pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) di Jakarta, Selasa (24/1/2019).

Sri Mulyani menyebutkan, dalam lima tahun terakhir tren suku bunga acuan terus mengalami peningkatan. Bank Indonesia (BI) pun meresponnya dengan menaikkan suku bunga acuannya BI-7day Reverse Repo Rate sebanyak enam kali menjadi 6% sepanjang 2018. Imbasnya untuk menjaga daya tarik, yield surat utang Indonesia bertenor 10 tahun turut naik menjadi sebesar 8,25% per 29 Januari 2019. Sementara pada awal Januari 2018, yield surat utang Indonesia bertenor 10 tahun paling tinggi sebesar 6,25%.

Sebaliknya, hal ini sangat berbeda dengan tahun 2014 dimana beban bunga utang rendah lantaran saat itu ada tren pelonggaran moneter dunia. BI pun pada saat itu turun menurunkan suku bunga acuannya.

"Maka pasti dengan stok utang yang lebih kecil dengan suku bunga rata-rata internasional dan dalam negeri yang lebih rendah, ya pasti pembayaran bunganya lebih moderate," cetus Sri Mulyani.

Menkeu menilai pemerintah akan tetap melakukan utang selama Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mengalami defisit. Namun ia meminta jangan hanya melihat pada nominalnya saja, tetapi harus dilihat dalam konteks yang lebih besar.

"Apakah utang kita itu mampu untuk menjaga kita stabilitas ekonomi indonesia waktu dia menghadapi tekanan harga komoditas jatuh, ekspor negatif, waktu tahun 2014-2015, apakah dia mampu membangun infrastruktur, apakah kita mampu mengurangi kemiskinan, apakah kita bisa menjaga pertumbuhan ekonomi. Itu semuanya kan tujuannya," jelasnya.

"Namun, yg harus dilihat, yg dibandingkan itu ya tidak hanya nominal. Kalo nominalnya ini bergerak tapi nominal lain tidak dilihat, itu kan jadi membingungkan, atau cenderung dianggap untuk menakut-nakuti masyarakat," tambahnya.

Sebelumnya, Faisal Basri dalam laman resminya, mengaku bahwa rasio utang pemerintah Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) masih relatif rendah bila dibandingkan dengan Jepang dan Amerika Serikat (AS). Namun, meminta pemerintah mewaspadai beban pembayaran bunga utang terhadap APBN yang terus meningkat.

“Selama kurun waktu 2014-2018, utang pemerintah pusat naik 69%, dari Rp 2.605 triliun menjadi Rp 4.416 triliun. Peningkatan itu lebih tinggi ketimbang periode 2010-2014 sebesar 55%,” tulis Faisal dalam situs resminya.

Berdasarkan catatannya, pembayaran bunga utang pada 2014 baru mencapai 7,5% dari belanja total dan 11,1% dari belanja pemerintah pusat. Lima tahun kemudian (2018), pembayaran bunga utang meningkat, masing-masing menjadi 11,7% persen dari belanja total dan 17,9% dari belanja pemerintah pusat.

Selama kurun waktu 2014-2018, belanja untuk pembayaran bunga utang tumbuh paling tinggi, yaitu 94% atau lebih dari tiga setengah kali pertumbuhan belanja modal yang hanya 25,9%.

Sebagai perbandingan, rasio utang AS mencapai 105% dari PDB atau jauh lebih tinggi dari Indonesia, yaitu di 34% dari PDB. Meski rasio utangnya lebih tinggi, AS hanya mengalokasikan 7% untuk pembayaran bunga utang dari total belanja tahun anggaran 2018.

Baca Juga: Imigrasi Depak WN Turki dari Bali gegara Sembunyikan Buronan

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Fajar Sulaiman
Editor: Kumairoh

Bagikan Artikel: