Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Ekonomi Belum Aman Banget, Bahana TCW Tak Mau Muluk-muluk

Ekonomi Belum Aman Banget, Bahana TCW Tak Mau Muluk-muluk Kredit Foto: Antara/Indrianto Eko Suwarso
Warta Ekonomi, Jakarta -

Perusahaan asset management plat merah, Bahana TCW Investment Management (BTIM) akan bersikap konservatif dalam menargetkan pertumbuhan dana kelolaan pada tahun 2019, di tengah meredanya fluktuasi pasar finansial negara berkembang sejak awal tahun ini. Anak usaha PT Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI) ini menargetkan total dana kelolaan di tahun 2019 sebesar Rp 50 triliun atau naik sekitar 4-5 % dibandingkan tahun 2018. 

 

Presiden Direktur Bahana TCW Investment Management Edward Lubis menyatakan, kondisi pasar finansial Indonesia tahun 2019 masih harus menghadapi tantangan sepanjang triwulan satu dan triwulan dua tahun ini. 

 

Saat ini, ungkap Edward, arus modal asing mulai kembali masuk ke negara berkembang, termasuk Indonesia. Hal ini didorong adanya sentimen global yang meragukan pertumbuhan ekonomi di Amerika Serikat tahun ini, terlihat dari suku bunga obligasi AS yang turun. Di samping itu, harga minyak dunia yang turun turut mendongkrak Rupiah kembali menguat terhadap Dollar sejak triwulan akhir 2018 lalu. 

 

“Pasar finansial Indonesia memang jauh lebih baik dibandingkan tahun 2018 lalu. Namun, ada persepsi investor yang masih enggan untuk menempatkan investasi di pasar saham dan obligasi karena menunggu perkembangan pasar. Perlu waktu untuk membangun optimisme investor kembali. Sehingga Bahana memproyeksikan pertumbuhan yang konservatif pada tahun ini," jelas Edward, di Jakarta, Sulasa (29/1/2019). 

 

Senada dengan hal ini, Direktur Strategi Investasi dan Kepala Makroekonom BTIM, Budi Hikmat menyatakan, walaupun menghargai respon kebijakan pemerintah namun fundamental ekonomi Indonesia masih belum sepenuhnya aman dari sentimen global. 

 

Menurutnya, penguatan pasar finansial saat ini masih ditopang dari modal asing yang masuk dan juga penurunan harga minyak. Sementara indikator penguatan daya beli belum meyakinkan. Neraca dagang yang anjlok pada tahun lalu cenderung menekan pertumbuhan daya beli yang terkonfirmasi melaui perlambatan pertumbuhan uang M1 (meliputi uang kartal yang dipegang masyarakat dan uang giral (giro berdenominasi Rupiah).

 

"Dengan penurunan harga minyak bumi yang lebih dalam ketimbang harga CPO, batu-bara dan karet, membuat perbaikan sejauh ini ibarat tidak perlu merogoh kocek lebih dalam. Namun isi dompet belum bertambah. Itu sebabnya Pemerintah harus memacu perbaikan struktur perdagangan internasional untuk memacu ekspor produk manufaktur dan barang jadi bukan komoditas primer yang booming cycle sudah usai," pungkasnya.

Baca Juga: Imigrasi Depak WN Turki dari Bali gegara Sembunyikan Buronan

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Annisa Nurfitri

Bagikan Artikel: