Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Ada Beras Busuk, Tata Kelola Distribusi Kurang Berjalan

Ada Beras Busuk, Tata Kelola Distribusi Kurang Berjalan Kredit Foto: Antara/Dhemas Reviyanto
Warta Ekonomi, Jakarta -

Penemuan lebih dari 6 ribu ton beras busuk di Bulog Divre Sumsel dan Babel mengindikasikan tidak berjalannya mekanisme dan tata kelola distribusi beras. Hal itu yang menjadi penyebab penumpukan beras di gudang sehingga mengakibatkan terjadi beras turun mutu atau busuk.

Pakar pertanian memprediksi temuan ini bukan yang terakhir dan disinyalir jumlah beras busuk akan bertambah. 

"Kalau masalah menumpuk, artinya selama ini proses distribusi beras belum terlaksana dengan baik. Kalau misalnya Bulog bisa ukur berapa suplai masuk, berapa permintaan, dan kapasitas gudang baik, harusnya sudah distribusikan dan mencegah tumpukan-tumpukan jadi busuk," ujar peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Assyifa Szami Ilman dalam keterangannya di Jakarta, Kamis (14/2/2019).

Oleh karena itu menurut dia, ke depan diperlukan perbaikan dan peningkatan skema distribusi sehingga tidak terjadi penumpukan dan pembusukan. "Karena sangat disayangkan kalau beras busuk dan tidak dapat dipakai lagi," ujarnya.

Atas temuan tersebut, saat ini Bulog tengah melakukan sortasi. "Terdapat beras turun mutu sebanyak 6.800 ton yang berlokasi di Bulog Divre Sumsel dan Babel. Saat ini sedang kami lakukan mekanisme internal dengan melakukan sortasi dan pemisahan di unit gudang yang berbeda untuk menghindari terkontaminasinya beras baik," ujar Sekretaris Perusahaan Perum Bulog, Arjun Ansol Siregar.

Beras turun mutu tersebut adalah beras yang tidak untuk disalurkan. Beras tersebut merupakan hasil pengadaan dalam negeri yang berusia lebih dari satu tahun.

Penugasan untuk pembelian gabah atau beras dalam negeri sendiri, mengacu kepada Inpres 5 Tahun 2015, tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran beras oleh Pemerintah.

Pengadaan yang cukup besar dan tidak diimbangi dengan penyaluran, mengakibatkan terjadinya penumpukan stok beras di gudang Bulog. Selain itu, kebijakan pemerintah yang terus mengurangi pagu Rastra (Bansos Rastra) setiap tahun secara bertahap ke Bantuan Pangan Non Tunai yang tidak mewajibkan komoditasnya (beras) berasal dari Bulog, ikut memengaruhi perputaran barang Bulog.

"Pagu Rastra di Provinsi Sumsel di tahun 2017 sebanyak 68 ribu ton, mengalami penurunan di tahun 2018 menjadi sebanyak 44 ribu ton, dan di tahun 2019, pagu Bansos Rastra untuk bulan Januari dan Februari menjadi sebanyak 5.400 ton. Hal ini tentu memengaruhi manajemen stok di Bulog," ungkap Arjun.

Beras merupakan komoditas yang mudah rusak (perishable), karena dalam setiap butirnya terdapat unsur-unsur kimia yang dapat mengalami perubahan fisiologis. Beras dengan kualitas baik dan dirawat dengan baik, tetap memiliki batas usia penyimpanan, karena hingga saat ini belum ada teknologi perawatan yang bisa menghentikan perubahan fisiologis beras. Perawatan beras yang dilakukan saat ini berfungsi memperlambat penurunan mutu beras.

"Kami tetap pastikan, beras yang kami distribusikan kepada masyarakat merupakan beras yang layak dikonsumsi," kata Arjun.

Untuk itu seharusnya menjadi tugas dari Kementerian Pertanian (Kementan) untuk menghasilkan beras-beras dalam negeri yang berkualitas. "Yang harus ditekankan dan pekerjaan rumahnya, beras dalam negeri harus memiliki kualitas yang baik. Di sini peran Kementan untuk bisa berikan benih berkualitas. Selama ini permasalahan subsidi [benih] tidak tertargetkan," kata Ilman.

Alasan lain penyebab terjadinya penumpukan beras di gudang Bulog, adalah kebijakan pemerintah yang mengurangi pagu Rastra, karena diintegrasikan menjadi program Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT). Di mana sistem BPNT tersebut melalui mekanisme e-warung, yang dikelola oleh para penerima Program Keluarga Harapan (PKH).

Dari penelitian yang dilakukan di daerah, banyak e-warung yang tidak mengambil beras dari Bulog, dikarenakan masalah kualitas. "Anggota PKH ini dibebaskan memilih berasnya, tidak harus beras Bulog. Kebetulan saya ke Kupang, beberapa e-warung tidak milih beras Bulog karena secara kualitasnya tidak digemari oleh penerima BPNT," paparnya.

Pengamat pertanian dari IPB, Prof Dwi Andreas menuturkan, beras busuk yang ada di Sumatera Selatan adalah hal yang biasa terjadi karena mekanisme "first in first out" tidak lancar. Ia bahkan memprediksi persentase beras busuk akan terjadi di gudang-gudang Bulog lain di Indonesia.

Ia berharap tidak sampai terjadi stok beras busuk yang banyak seperti di negara tetangga. "Kalau kita lihat, di Thailand itu pernah sampai jutaan ton rusak, akhirnya dijual dengan harga sangat murah, dan sebagian dibuang," ujarnya.

Andreas mengatakan, ketika stok masuk dan stok keluar tidak seimbang, maka rusaknya beras dipastikan terjadi. Apalagi jika kualitas berasnya buruk. Mekanisme first in first out ini terganggu oleh program pemerintah yakni BPNT.

"Dulu kan namanya Rastra, dulu lagi namanya raskin, Bulog serap langsung dan salurkan lagi ke masyarakat, nah dulu itu targetnya 15 juta rumah tangga, mekanisme itu dipotong sehingga sekarang menjadi lima juta rumah tangga saja," ujarnya.

Sementara, sembako yang didapat masyarakat melalui program ini, yakni e-warung tidak harus dipasok Bulog. Akibatnya, peran Bulog untuk distribusi menurun hingga 2/3. Hal ini, kata dia, menyebabkan stok Bulog cukup besar, yakni 2 juta ton, dan cadangan beras pemerintah sekitar 1,9 juta ton.

Jika kualitas beras bagus dan pengemasan bagus, lanjutnya, beras bisa bertahan enam bulan bahkan lebih. "Kalau beras buruk, beberapa minggu juga sudah busuk," tuturnya.

 

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Annisa Nurfitri

Bagikan Artikel: