Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Divestasi Freeport Dilaporkan ke Ombudsman, Ada Apakah Gerangan?

Divestasi Freeport Dilaporkan ke Ombudsman, Ada Apakah Gerangan? Kredit Foto: Freeport Indonesia
Warta Ekonomi, Jakarta -

Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (KRKSDA) hari ini, Jumat (15/2/2019), melakukan laporkan kepada Ombudsman RI. Hal yang dilaporkan ialah dugaan maladministrasi pada proses divestasi PT Freeport Indonesia (PTFI) dengan PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum).

Pihak pelapor dalam hal ini ialah Marwan Batubara (IRESS), Ahmad Redy (KJI), Budi Santoso (CIRUSS), Bisman Bakhtiar (PUSHEP), dan Yusri Usman (CERI).

Berdasar rilis yang diterima redaksi Warta Ekonomi, mereka meminta Komisi Ombudsman RI melakukan investigasi terhadap semua dokumen dan proses yang terjadi dalam kesepakatan divestasi saham PTFI, termasuk terhadap pejabat yang terlibat dalam negosiasi.

"Sehingga, publik akan terhindar dari informasi yang simpang siur tentang divestasi saham tersebut, dan diharapkan negara pun dapat terhindar dari potensi kerugian finansial yang sangat besar," tulis pihak pelapor.

Baca Juga: Masalah Freeport Bakal jadi Isu Seksi di Debat Kedua

Baca Juga: Lima Catatan Fadli Zon atas Pembelian Saham Freeport

Lebih lanjut mereka menjelaskan bahwa adanya maladministrasi terkait kontrak karya (KK) PTFI yang seharusnya berakhir pada 30 Desember 2021. Tapi, KK tersebut diperpanjang melalui Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).

Diketahui, untuk mendapatkan IUPK, perlu beberapa proses, seperti melalui persetujuan DPR. Setelahnya, saham divestasi ditawarkan terlebih dulu ke BUMN atau BUMD. Pilihan terakhir ialah menawarkan divestasi ke perusahaan swasta. Hal ini sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 9 Tahun 2017.

Mereka juga menilai bahwa divestasi tersebut seharusnya tidak berkaitan dengan PT Rio Tinto (PTRT). Berdasar aturan, KK hanya melibatkan dua pihak, yaitu PT Inalum yang mewakili pemerintah dan PTFI. Kemunculan PTRT dalam proses akuisisi tersebut termasuk dalam tindakan ilegal.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan potensi kerugian negara akibat operasional PTFI mencapai Rp185,58 triliun. Perseroan telah melakukan sejumlah pelanggaran lingkungan, seperti penggunaan kawasan hutan lindung dalam operasional tambang PTFI seluas minimal 4.535,93 hektare tanpa izin yang bisa merugikan negara hingga Rp270 miliar.

Di samping itu, pihak pelapor juga mencium adanya tindakan korupsi. Menurutnya, perhitungan valuasi saham seharusnya tidak mencapai US$3,85 miliar. Pasalnya, Menteri ESDM 1993-1998 IB Sujana menyetujui Participating Interest PTPR ada di blok B, yakni pengembangan, bukan di blok A Gresberg dan Erstberg.

Baca Juga: Kader Gerindra Gantikan AWK Sebagai Anggota DPD RI, De Gadjah: Efektif Kawal Kebijakan dan Pembangunan

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Rosmayanti

Bagikan Artikel: