Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Benarkah Kata Prabowo Kalau BUMN Merugi?

Benarkah Kata Prabowo Kalau BUMN Merugi? Kredit Foto: Antara/Reno Esnir
Warta Ekonomi, Jakarta -

Menarik jika kita simak kritik calon presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto, terhadap pemerintah atas kondisi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) saat ini. Menurutnya, BUMN yang dikelola pemerintah kolaps alias bangkrut. Dikatakan, negara membiarkan BUMN saat ini dalam keadaan yang bisa dibilang bangkrut dan kalau untung pun tidak akan besar-besar amat. Apa benar kondisinya begitu darurat?

Hingga semester l-2017 lalu sejumlah BUMN masih mencatatkan kerugian sebesar Rp5,852 triliun. Jika dibandingkan 2016, jumlah BUMN yang mengalami kerugian berkurang dari 27 di semester I-2016 menjadi 24 di semester I-2017. Namun, dari sisi nilai kerugian bertambah, dari Rp5,826 triliun di semester I-2016 menjadi Rp5,852 triliun di semester I-2017.

Sebanyak 24 BUMN merugi karena berbagai faktor. Misalnya lemahnya daya saing seperti yang dialami: PT Garuda Indonesia, Perum Bulog, PT Krakatau Steel, PT PAL, PT Dok Perkapalan Surabaya, PT Indofarma, PT Balai Pustaka, PT Boma Bisma Indra, Perum PEN, dan PT Berdikari. 

Baca Juga: Ini Pembelaan Kementerian BUMN Soal Utang yang Terus Merangkak Naik

Atau rugi karena memang masih dalam tahap “penyembuhan” atau restrukturisasi seperti yang terjadi pada PT Nindya Karya, PT Merpati Nusantara Airlines, PT Kertas Kraft Aceh, PT Survey Udara Penas, PT Industri Sandang Nusantara, PT Iglas, PT Kertas Leces, PT Djakarta Lioyd, PT Istaka Karya, PT Varuna Tirta Prakarsya, dan PT Primissima. 

Toto Pranoto, Managing Director  LM FEB UI menilai kerugian BUMN karena uncontrollable factor. Seperti diketahui, BUMN juga mengemban tugas Negara dalam pelayanan publik dengan menjalankan misi PSO (public service obligation) .Penugasan ini terkadang membuat mereka sukar bergerak dan kesulitan memperbaiki kinerja keuangan .

Pertamina, misalnya. Pada laporan keuangan semester-l tahun 2018 mengalami penurunan laba hingga 73 persen meskipun masih mendapatkan untung Rp5 triliun. Penurunan kinerja ini terutama karena Pertamina harus menanggung kebijakan BBM Satu Harga.

Demikian pula PLN juga tercatat rugi Rp5,3 triliun pada semester I-2018. Hal ini dipicu oleh kebijakan harga subsidi yang ditetapkan pemerintah .Padahal baik PLN maupun Pertamina sepanjang tahun 2018 sudah didera risiko kerugian karena volatilitas Rupiah. Sebagian besar financing PLN dan Pertamina dalam bentuk valas sementara penjualan mereka di domestik dalam bentuk Rupiah.

Baca Juga: BBM Satu Harga Bikin Pertamina Bangkrut?

"Artinya BUMN terkadang mengalami kerugian karena faktor-faktor yang tidak dapat mereka kendalikan (uncontrollable factors) yang mungkin tidak dihadapi oleh korporasi non BUMN," kata dia kepada Warta Ekonomi belum lama ini.

Contoh lain yang mencolok, hampir semua BUMN Karya di laporan keuangan tahun 2017-2018 menunjukkan kinerja keuangan yang sangat bagus. Namun harga saham mereka di pasar modal mengalami tekanan hebat. Kenapa? Karena market tidak yakin dengan kualitas pengelolaan cashflow akibat pembayaran piutang pembangunan infrastruktur dari pemerintah terutama jalan tol yang berlangsung sangat lambat. Ditambah lagi dengan divestasi aset yang berjalan lamban seperti yang dialami oleh PT Waskita KaryaTbk," tambah dia.

Dalam kasus lain, Garuda Indonesia mengalami kerugian sebesar Rp1.67 triliun pada semester 1 tahun 2018. Kerugian ini juga dipicu oleh uncontrollable factor yaitu kenaikan harga bahan bakar avtur (hampir 40% dari struktur biaya GA) namun juga oleh ketidak mampuan manajamen Garuda dalam manajemen rute terutama di long distance serta tidak seimbangnya portfolio pendapatan terutama masih rendahnya pendapatan kargo. 

Hal ini berbeda dengan Singapore Airlines yang mampu menyeimbangkan pendapatan dari penumpang dan kargo. Hal ini juga mengindikasikan masih lemahnya pengelolaan BUMN karena kelemahan internal (controllable factors).

"Faktor kelemahan BUMN yang bersifat “controllable”  tersebut bersumber dari lambatnya antisipasi bisnis karena dinamika lingkungan yang berubah, kualitas SDM dan Leader yang kurang memadai, serta terlalu panjangnya birokrasi dalam pengambilan keputusan," jelas Toto.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Yosi Winosa
Editor: Kumairoh

Bagikan Artikel: