Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Ketika Advokat Terdisrupsi

Ketika Advokat Terdisrupsi Kredit Foto: Pixabay
Warta Ekonomi, Jakarta -

Penemuan beberapa teknolgi, seperti digital documents, data processing, chatbots, flexible working, dan predictive analytics, mau tidak mau mendisrupsi dunia hukum. Berbagai terminologi seperti e-court, e-lawyer, digital lawyers, revolusi industri 4.0, society 5.0 ,dan lain sebagainya juga kini makin marak.

Di Uni Eropa penggunaan online dispute resolution (ODR), hakim atas suatu sengketa kontraktual adalah robot dan sudah dilegalisasi oleh Uni Eropa. Mereka yang bersengketa "diadili" oleh robot di pengadilan tingkat pertama (first instance court) dan baru bertemu dengan hakim manusia pada tahapan banding (appeal/high court).

Bagaimana jika sistem ODR yang diterapkan di Uni Eropa kemudian diadopsi oleh Masyarakat Ekonomi Asean (Asean Economic Community)? Di beberapa yurisdiksi saat ini juga sudah dikembangkan internet dispute resolution (iDR), electronic dispute resolution (eDR), electronic alternative dispute resolution (eADR), dan online alternative dispute resolution (oADR).

Diskusi tentang penyelesaian sengketa dari dulu sampai sekarang terus mengemuka. Intinya adalah ingin mencari penyelesaian sengketa yang paling efisien (efficient judiciary). Sayangnya, suatu keniscayaan jika advokat bisa mengalahkan mesin yang terus belajar.

Baca Juga: Seperti Apa Kesiapan Praktisi PR pada Era Artificial Intelligence?

"Bagaimana dengan para lawyer (pengacara)? Begitu pun dengan advokat, adalah suatu keniscayaan (taken for granted) jika lawyer di era disrupsi ini harus menjadi the long life learner, yakni manusia pembelajar yang tiada henti. Mereka harus mempersiapkan diri sedini mungkin untuk mengantisipasi dengan cerdas akan berbagai kemungkinan turbulensi atau tsunami hukum terkait dengan teknologi yang terus berkembang," kata TM Luthfi Yazid, Wakil Presiden Kongres Advokat Indonesia, belum lama ini.

Di Washington DC, Amerika Serikat (AS), pengacara atau advokat robot pertama dikenal dengan nama Ross dan dipekerjakan oleh kantor hukum Baker Hosteler untuk menangani perkara kepailitan (Karen Turner, The Washington Post, 16 May 2016).

Di AS ada eksperimen, artificial intelligence (AI) digunakan untuk meninjau berbagai kontrak. Hasilnya sungguh mengejutkan sebab tingkat akurasinya lebih tinggi dibandingkan puluhan advokat.

Baker McKenzei telah bersiap diri "mempekerjakan" AI di 11 kantor hukum di tiga benua untuk mengembangkan bisnisnya. Ben Allgrove, seorang partner di Baker McKenzie London, menyarankan agar advokat berkembang, maka teknologi AI haruslah lebih murah dan transparan. Dengan cara ini, akan lahir para advokat generasi baru (millennial lawyer) dengan spesialisasi baru (a new breed).

Baca Juga: Riset: Manusia Benci Robot yang Kompeten

Untuk saat ini, setidaknya advokat masih bisa berkompetisi dengan para robot ini lantaran pekerjaan korporasi dalam penerapan AI masih lebih mudah adaptif ketimbang pekerjaan-pekerjaan litigasi.

Mengapa? Pekerjaan litigasi membutuhkan argumen-argumen oral, seni, dan kreasi yang tetap dibutuhkan di dunia peradilan. Sementara pekerjaan-pekerjaan sebagai advokat korporasi berhubungan dengan berbagai kontrak dan dokumen.

Kehadiran Ross, si robot advokat, sendiri tidak dimaksudkan untuk mengganti advokat, namun hanya untuk mempercepat para advokat dalam belajar ketimbang berjam-jam membuka link internet atau membaca beratus-ratus halaman kasus tanpa hasil maksimal.

Baca Juga: Pria Buleleng Diringkus usai Curi Tabung Gas-Barang Elektronik

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Yosi Winosa
Editor: Rosmayanti

Bagikan Artikel: