Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Lilit JKN-KIS, Defisit Anggaran Dinilai Tak Seimbang dengan Manfaat

Lilit JKN-KIS, Defisit Anggaran Dinilai Tak Seimbang dengan Manfaat Kredit Foto: Istimewa
Warta Ekonomi, Jakarta -

Defisit anggaran yang melilit program Jaminan Kesehatan Nasional–Kartu Indonesia Sehat (JKNKIS), menurut Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) dapat diatasi jika pemerintah menghitung ulang premi ideal yang terbaru.

Pada awal JKN-KIS dilaksanakan, 1 Januari 2014, DJSN mengusulkan agar premi untuk peserta penerima bantuan iuran (PBI) minimal sebesar Rp36.000, PBPU kelas III Rp53.000, kelas II Rp63.000, dan kelas I Rp80.000 per orang per bulan. Namun, usulan ini tidak pernah diikuti.

Maka tidak heran, defisit JKN-KIS sudah bisa diproyeksikan terjadi setiap tahun. Defisit terjadi karena premi yang ditetapkan tidak seimbang dengan biaya manfaat. Persoalan ini, menurutnya, lebih tepatnya disebut unfunded, bukan defisit.

Baca Juga: BPJS Kesehatan Masih Ngutang, Nyawa Pasien Jadi Taruhannya

JKN-KIS dikatakan defisit jika besaran premi sudah ditetapkan sesuai hitungan aktuaria, tetapi dalam pelaksanaannya ternyata kurang. Sementara unfunded adalah premi yang ditetapkan tidak sesuai dengan hitungan aktuaria sehingga terjadi kekurangan pembiayaan.

"Besaran premi ini dihitung berdasarkan kebutuhan sekarang, dan jika direalisasikan dipastikan akan mencegah defisit JKN-KIS. Hitungan DJSN, kebutuhan premi untuk seluruh segmen peserta jika dirata-rata sebesar Rp54.751 per orang per bulan," jelas Komisioner DJSN Achmad Ansori beberapa waktu lalu di Bogor.

Jika dihitung per segmen, maka untuk peserta mandiri atau pekerja bukan penerima upah (PBPU) dan bukan pekerja (BP) kelas III besaran preminya adalah Rp42.714 per orang per bulan, kelas II Rp80.409, dan kelas I Rp130.805. Sedangkan untuk peserta PBI yang preminya dibayarkan oleh pemerintah lebih rendah, yaitu sebesar Rp35.000 per orang per bulan.

"Kami hitung dari unit cost, harga pelayanan dan rate rasio kunjungan. Kemudian ini diproyeksikan dan dihitung dengan banyak formula, jadilah angka-angka tersebut," katanya.

Menurut Ansori, angka-angka tersebut adalah kebutuhan premi yang ideal dengan biaya pelayanan per orang per bulan. Hitungan ini sudah menyesuaikan dengan kondisi kekinian, termasuk sudah menghitung terjadinya inflasi bidang kesehatan rata-rata 20% per tahun.

"Angka-angka ini direkomendasikan oleh DJSN jika pemerintah ingin menaikkan premi peserta dari angka yang sekarang. Kami siap ajukan premi yang baru ini jika memang ada rencana presiden untuk menaikkan premi peserta," kata Ansori.

Ansori optimis besaran premi peserta akan dinaikkan oleh pemerintah nantinya. Meskipun komitmen pemerintah untuk itu masih jauh dari harapan. Karena faktanya, sampai saat ini tidak ada kenaikan premi, padahal regulasi mewajibkan dilakukannya evaluasi setiap dua tahun.

Dari sisi besarannya pun, pemerintah belum punya komitmen cukup. Besaran premi sampai saat ini ditetapkan lebih rendah dari hitungan aktuaria DJSN.

Baca Juga: BPJS Kesehatan Terus Dongkrak Iuran JKN-KIS

Di sisi lain, defisit yang terjadi, lanjut Ansori, juga dikarenakan banyaknya beban yang tidak semestinya ditanggung JKN-KIS. Misalnya, dalam kecelakaan kerja dan korban bencana alam.

Misalnya seorang pekerja industri mebel menderita paru dan mata dikarenakan paparan debu selama bertahun-tahun. Ketika sakit dan berobat ke fasilitas kesehatan, pasien ini menjadi beban pembiayaan JKN-KIS.

"Seharusnya pembiayaan untuk penyakit seperti ini masuk dalam jaminan kecelakaan kerja. Beban-beban pembiayaan yang tidak semestinya inilah yang menyebabkan pengeluaran BPJS Kesehatan membengkak, dan turut berkontribusi pada defisit," jelasnya.

Yang harus diingat, katanya, penetapan besaran iuran peserta JKN-KIS tidak pernah menghitung kecelakaan kerja dan bencana.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Ning Rahayu
Editor: Rosmayanti

Bagikan Artikel: