Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Angka Kegagalan Startup Tinggi, Ternyata Ini Lho Penyebabnya

Angka Kegagalan Startup Tinggi, Ternyata Ini Lho Penyebabnya Kredit Foto: Tanayastri Dini Isna
Warta Ekonomi, Jakarta -

Menurut riset dari Profesor Harvard Business School, Shikhar Ghosh terhadap 2 ribu startup yang didanai modal ventura, 95% di antaranya memiliki risiko kegagalan. Padahal, perusahaan-perusahaan pemula itu menghimpun setidaknya US$1 juta antara 2004 dan 2010. Angka itu menunjukkan, risiko kegagalan membangun perusahaan rintisan sangat tinggi.

Di Indonesia hal demikian juga terjadi. Dari 1.307 total startup yang didanai oleh Kemenristekdikti sejak 2015 hingga 2018, ada 749 startup yang sudah masuk ke industri dan 558 yang masih menyandang status calon startup. 40% dari 749 startup itu diklaim mengalami kegagalan.

Sebetulnya, hal apa yang menyebabkan para startup riskan terhadap kemungkinan gagal? Menteri Riset, Teknologi, dan Perguruan Tinggi (Ristekdikti), Mohamad Nasir mengungkapkan ada tiga hal yang menyebabkan startup mengalami gagap jalan atau kegagalan.

Baca Juga: Kabar Gembira! Pemerintah Bakal Suntikkan Dana Rp1 Miliar Buat Startup Tanah Air

“Ternyata mereka tak pernah menghitung cost dan benefit kalau mau scale up (eskalasi),” ujar Nasir dalam Konferensi Pers beberapa hari lalu (5/4/2019).

Menurut Nasir, bila biaya produksi yang dikeluarkan lebih banyak daripada keuntungan yang didapat, sebaiknya startup tak melanjutkan produk itu. Sebab, biaya produksi harus lebih rendah dari keuntungan atau manfaat yang akan diperoleh.

Ia menambahkan, “Hal itu yang saya ajarkan kepada teknisi-teknisi (di startup binaan Kemenristekdikti).”

Dengan biaya yang lebih rendah dari manfaat, harga yang ditawarkan ke pasar pun harus kompetitif. Sehingga konsumen dapat menerima harga komersil dari produk itu.

“Biaya produksi harus lebih rendah dari manfaat, maka pricing-nya harus kompetitif,” imbuh Nasir.

Yang paling penting, ketahanan produknya harus berjangka panjang. Tampilan produknya pun harus baik karena hal itu yang pertama dilihat konsumen.

Nasir berujar, “Tampilannya (harus) baik, ini penting. Kadang orang tak perhatikan ini (pentingnya tampilan).”

Baca Juga: Tahun Ini, Kemenristekdikti Siapkan Dana untuk Scale Up Hingga 10 Startup

Sementara, Direktur Perusahaan Pemula Berbasis Teknologi (PPBT) Kemenristek Dikti Retno Sumekar menilai, mayoritas startup bininaan dalam program PPBT Ristekdikti mati karena produknya yang tidak berbasis kebutuhan konsumen

“Untuk mengangkat supaya tidak mati, di situ pemerintah berperan. Kami lakukan penilaian, apakah startup sudah siap dikomersialkan? Atau masuk calon startup?” papar Retno.

Produk dari calon startup perlu disempurnakan supaya bisa dipasarkan ke konsumen. Di situlah mereka menerima pembinaan dan masukan dari para reviewer program, supaya startup tak mati di tengah jalan. Fakta-fakte tersebut menunjukkan, membangun startup itu tidaklah mudah, banyak risiko yang harus dihadapi oleh tim pendirinya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Tanayastri Dini Isna
Editor: Clara Aprilia Sukandar

Bagikan Artikel: