Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Sering Dijadikan Senjata Politik, Swasembada Pangan Masih Relevan untuk Dicapai?

Sering Dijadikan Senjata Politik, Swasembada Pangan Masih Relevan untuk Dicapai? Kredit Foto: Kementan
Warta Ekonomi, Jakarta -

Dapat dikatakan hampir seluruh kandidat calon presiden dan calon wakil presiden yang bertarung dari pemilihan umum 2004 hingga saat ini selalu konsisten menjanjikan swasembada pangan. Padahal secara garis besar dapat dikatakan hingga 15 tahun kemudian, belum ada satupun presiden dan calon wakil presiden berhasil mewujudkan swasembada pangan.

Demikian yang disampaikan Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS), Assyifa Szami Ilman. Ia mengatakan, swasembada pangan dapat dikatakan semakin menjadi agenda yang semakin hari semakin sulit untuk dieksekusi.

"Kebijakan menahan impor pun akan berisiko meningkatkan harga pangan. Apabila produksi pangan melebihi konsumsi, tentunya impor tidak perlu dilakukan dan pada akhirnya swasembada pangan tercapai," ujar Ilman dalam keterangan resmi, Kamis (11/4/2019).

Baca Juga: KPPU Desak Pembatalan Impor Bawang Putih, "Pemerintah Harus Adil"

Namun, ia meneruskan, kondisi tersebut akan menjadi jauh lebih rumit apabila selama ini terjadi kesimpangsiuran dalam data yang menjadi acuan, seperti yang terjadi pada saat ini. Data Kementerian Pertanian (Kementan) untuk produksi beras selalu dikritik karena angkanya yang overestimate hampir 30% dari jumlah yang dianggap lebih realistis keluaran Badan Pusat Statistik (BPS).

Hingga akhir Oktober 2018, belum ada kesepakatan mengenai data yang digunakan untuk menyatakan status swasembada pangan. Pada hari ini, baru data beras hasil olahan BPS saja yang dinyatakan telah diperbaiki dan disepakati menjadi acuan.

Berikutnya, lanjut Ilman, mengenai tidak adanya jaminan ketersediaan barang akan memunculkan harga terbaik. Contohnya, berdasarkan data International Rice Research Institute (IRRI,2018), biaya produksi padi di Indonesia mencapai 2,5 kali lipat biaya produksi Vietnam.

"Hal ini memastikan bahwa harga pasar yang akan diterima konsumen juga sudah terlanjur jauh lebih mahal. Indonesia sendiri, di sisi lain, juga rutin melakukan impor beras dari Vietnam yang notabene memiliki harga beras yang lebih murah,” jelas Ilman.

Baca Juga: Lembaga Pangan Malaysia Tertarik Galang Perdagangan Beras dengan Bulog

Menurut Ilman, alih-alih mengejar swasembada pangan, ada baiknya pemerintah mulai fokus untuk mencapai ketahanan pangan. Kalau semua orang mengonsumsi produk impor, tentunya petani lokal tidak akan memiliki pembeli. Oleh karena itu, petani lokal perlu dapat dukungan untuk bisa bersaing dengan petani internasional dengan skema program yang dapat membantu mendorong biaya produksi lebih rendah.

”Saat ini, pemerintah melalui Kementerian Pertanian patut diapresiasi atas berjalannya program modernisasi alat pertanian dan juga subsidi benih dan pupuk. Walaupun masih banyak yang harus diperbaiki dan ditingkatkan. Di sisi lain, menutup diri dari opsi pangan dengan harga yang lebih terjangkau dengan harapan bisa mencapai swasembada pangan merupakan suatu tindakan yang disayangkan,” tambahnya.

Ilman mengungkapkan, fokus program dan janji politik perlahan perlu digeser menuju ketahanan pangan yang menjamin adanya ketersediaan, keterjangkauan dan kualitas pangan tanpa harus membatasi sumber pangan dari dalam negeri saja.

"Di sisi lain, ketahanan pangan adalah kunci untuk keberlanjutan pembangunan bangsa. Dengan menjamin ketersediaan, keterjangkauan dan kualitas pangan dengan tidak membatasi asal sumber pangan tersebut, pemerintah secara tidak langsung juga telah berkontribusi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat," pungkasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Kumairoh
Editor: Kumairoh

Bagikan Artikel: