Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

KPK Akui Ada Kebocoran Anggaran, Inilah Faktor Pemicunya

KPK Akui Ada Kebocoran Anggaran, Inilah Faktor Pemicunya Kredit Foto: Antara/Akbar Nugroho Gumay
Warta Ekonomi, Jakarta -

Litbang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan angka APBN Indonesia mestinya Rp4.000 triliun. Sementara saat ini, total APBN hanya mencapai Rp2.000-an triliun. Merujuk fakta tersebut, Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan memastikan adanya kebocoran anggaran.

Analis ekonomi politik Kusfiardi menilai kebocoran itu terjadi karena aktivitas shadow economy yang tidak dijangkau pemerintah dan potensi pajak yang ada di dalamnya justru menguap begitu saja. Kebocoran juga terjadi akibat kegagalan pemerintah menentukan tarif dan basis pajak.

Menurutnya, target yang dipatok untuk penerimaan pajak di Indonesia ternyata baru 50% dari potensi yang ada. Dengan kondisi itu, pendapatan negara mengalami kehilangan potensi sebanyak dua kali.

Pertama, dari segi perhitungan target sudah hilang 50%. Lalu kedua, dari target yang hanya 50% dari potensi yang ada juga tidak bisa dipenuhi. Gambaran ini menunjukkan bahwa rasio antara penerimaan pajak terhadap potensinya tidak optimal.

Baca Juga: Debat Ekonomi, Capres Wajib Bahas Strategi dan Kebijakan Pajak

"Akibatnya penerimaan pajak kita menjadi tidak optimal karena pemerintah tidak fokus pada upaya memperkuat basis pajak," jelas Kusfiardi di Jakarta, akhir pekan kemarin.

Co-Founder FINE Institute ini memaparkan, titik kebocoran lainnya adalah offshore tax evasion yang masih belum bisa diatasi walaupun sudah ada instrumen automatic exchange of information (AEoI). Begitu pula dengan base erosion and profit shifting (BEPS) atau menempatkan penghasilan di negara yang memberikan fasilitas pajak rendah.

"Kebocoran lainnya, ada manipulasi data alias unreported and unpaid tax, pelaporan pajak tidak sesuai dengan data," urainya.

Kusfiardi lalu memaparkan, tolak ukur kebocoran juga bisa terlihat dari GDP Indonesia yang terus naik dari tahun ke tahun, namun tax ratio-nya fluktuatif. Sementara idealnya, kemajuan perekonomian suatu negara linier dengan tax ratio.

Sebagai gambaran, di kawasan Asean, GDP Indonesia merupakan yang tertinggi untuk Asia di urutan kelima, dan urutan ke-15 dunia. Namun, tax ratio Indonesia justru lebih rendah dibanding nilai rata-rata tax revenue to GDP ratio dunia di level 15,06% (World Bank, 2016).

"Angka ini masih lebih rendah dibandingkan Malaysia 14,4%, Filipina 13,67%, Singapura 14,29%, dan Kamboja 15,3%," sambung Kusfiardi.

Karena itu, Kusfiardi mendesak adanya pembenahan regulasi dan kebijakan dengan tujuan meningkatkan kepatuhan pajak (tax compliance). Tujuannya, agar bisa meningkatkan tax ratio dan kepatuhan pajak bisa meningkat.

"Maka biaya kepatuhan (compliance cost) juga harus diperhatikan. Semakin rendah biaya yang ditanggung untuk melaksanakan kewajiban perpajakan, semakin tinggi kepatuhan pajak," jelasnya.

Selain itu, Kusfiardi juga meminta penguatan kewenangan otoritas pajak dengan cara melepas lembaga perpajakan dari Kementerian Keuangan menjadi lembaga otonom yang bertanggung jawab kepada presiden. Pemisahan ini disertai dengan sejumlah kewenangan yang memperkuat lembaga otoritas pajak.

Baca Juga: Pengamat: Ekonomi Digital Sebabkan Kebocoran Pajak

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Fajar Sulaiman
Editor: Rosmayanti

Bagikan Artikel: