Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Pengiriman TKI Ilegal Meningkat, Ini Analisisnya

Pengiriman TKI Ilegal Meningkat, Ini Analisisnya Kredit Foto: Antara/Reza Novriandi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Regulasi yang sederhana dan tidak berbelat-belit adalah cara efektif mencegah para calon pekerja migran menempuh jalan ilegal. Pemberlakuan moratorium bukanlah satu-satunya jalan yang bisa dipilih untuk pencegahan. Moratorium justru menutup potensi remitansi.

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Mercyta Jorsvinna Glorya mengatakan, remitansi yang selama ini dikirim para pekerja migran pada keluarga di kampung halaman terbukti telah meningkatkan perekonomian lokal. Banyak keluarga dari para pekerja migran yang akhirnya bisa memulai atau mengembangkan usaha dan juga menyekolahkan anggota keluarga dari hasil kerja keras mereka di luar negeri.

Mercyta menambahkan, pemerintah seharusnya mau melihat dan mempelajari kembali mengenai regulasi penerimaan dan pemberangkatan pekerja migran yang sudah ada. Regulasi saat ini dinilai masih memberatkan dan hal inilah yang menyebabkan banyaknya para calon pekerja migran memilih jalur ilegal.

Baca Juga: Banyak Kasus Hukum, CIPS Dorong Pemerintah Benahi Regulasi Pekerja Migran

"Jalur resmi dinilai tidak mengakomodasi atau menghalang-halangi mereka. Logikanya, jika jalur resmi dibuat lebih efektif tanpa birokrasi yang berbelit, otomatis para calon pekerja migran akan memilih jalur resmi yang sesuai dengan ketentuan pemerintah," ungkap Mercyta di Jakarta, Senin (22/4/2019).

Beberapa hal yang dianggap memberatkan dalam regulasi yang ada, antara lain berdasarkan penelitian CIPS adalah biaya yang terlalu besar, masa pelatihan yang terlalu lama, materi pelatihan yang kurang sesuai dengan perkembangan zaman, dan juga besarnya peran agen dalam pengurusan regulasi keberangkatan.

Berbagai hal ini membuat para calon pekerja atau pekerja yang akan kembali bekerja harus mengeluarkan biaya yang besar sebelum mereka mendapatkan penghasilan.

Selain itu, lanjutnya, yang perlu disoroti adalah mekanisme perekrutan para pekerja migran, terutama di level masyarakat. Para agen pengirim pekerja migran ilegal biasanya akan mendatangi desa-desa di Indonesia mengajak para perempuan untuk bekerja di luar negeri dengan iming-iming gaji besar. Para perekrut ini terkadang merupakan kenalan, kerabat atau bahkan penduduk di desa itu sendiri.

"Merasa percaya dengan agen ini karena dianggap kerabat sekampung, para penduduk desa pun akhirnya terpengaruh dan bersedia menjadi pekerja migran untuk dikirim ke luar negeri. Padahal setelah diselidiki, agen tersebut bekerja untuk lembaga perekrutan yang tidak resmi. Dan salah satu konsekuensinya, banyak kasus terjadi  seperti pada Adelina Sau tahun lalu," jelasnya.

Baca Juga: Pak Menaker, Kok Masih Banyak TKI Meninggal di Luar Negeri?

Untuk meminimalkan aksi-aksi tersebut, peran aparat daerah sangat diperlukan. Kepala desa dan jajarannya diharapkan bisa melakukan sosialisasi kepada warganya terkait hal ini. Aparat desa bisa berkoordinasi dengan dinas ketenagakerjaan setempat atau tingkat kabupaten atau provinsi terkait hal ini.

"Dengan begitu, warga akan punya pengetahuan dan tidak dengan mudah tergiur cara-cara yang tidak resmi," imbuhnya.

Selain itu, Mercyta meminta konsensus terkait pekerja migran di tingkat Asean yang sudah ditandatangani Indonesia bisa lebih efektif. Konsensus ini diharapkan bisa menghasilkan aturan yang lebih jelas dengan sanksi yang mengikat para anggotanya.

"Kesepakatan bilateral atau multilateral terkait tenaga kerja antara Indonesia dengan negara lain juga layak ditingkatkan implementasinya," tukas Mercyta.

Baca Juga: Imigrasi Depak WN Turki dari Bali gegara Sembunyikan Buronan

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Boyke P. Siregar
Editor: Rosmayanti

Bagikan Artikel: