Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Proyek Ambisius BPJT, Bangun Transportasi Jabodetabek dari 70% Dana Swasta

Proyek Ambisius BPJT, Bangun Transportasi Jabodetabek dari 70% Dana Swasta Kredit Foto: Antara/Hafidz Mubarak A
Warta Ekonomi, Jakarta -

Permasalahan transportasi Jabodetabek telah menjadi isu nasional sejak beberapa tahun terakhir. Data dari Bappenas menunjukkan kerugian akibat kemacetan di Jakarta mencapai Rp67 triliun per tahun.

Di sisi lain, Jabodetabek menyumbang 60% dari pergerakan ekonomi nasional. Artinya, transportasi di Jabodetabek yang menjadi urat nadi perekonomian, apabila tidak segera dibenahi akan berdampak pada perekonomian secara nasional.

Kepala Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) Bambang Prihartono mengatakan, pihaknya memiliki target yang ambisius untuk pengembangan dan penataan transportasi di wilayah Jabodetabek dalam kurun 10 tahun ke depan.

Bambang mengungkapkan, BPTJ telah memiliki rencana induk sebagai pedoman untuk pengembangan dan penataan transportasi di wilayah Jabodetabek. Rencana induk tersebut mengacu pada Peraturan Presiden (Perpres) nomor 55 tahun 2018 tentang Rencana Induk Transportasi Jabodetabek (RITJ).

"Kami tengah mengatur strategi untuk mengeksekusi rencana induk yang ada. Rencana induk ini memang ambisius," kata dia di sela diskusi bertajuk Menyoal Masa Depan Sistem Pengelolaan Transportasi Jabodetabek yang digelar Bisnis Indonesia di Jakarta, Kamis (2/5/2019).

Dikatakan ambisius, kata Bambang, karena program pengembangan akan dijalankan hanya dalam kurun 10 tahun. Waktu pelaksanaan tersebut jauh lebih singkat jika dibandingkan waktu yang dibutuhkan Tokyo, yaitu selama 50 tahun, dan New York selama 70 tahun. "Tantangannya adalah bagaimana menyinergikan lima kota besar di Jabodetabek," ungkapnya.

Baca Juga: Tingkatkan Investasi, Infrastruktur Transportasi Publik Untungkan Bisnis Properti

Menurut Bambang, pembangunan transportasi Jabodetabek dalam 10 tahun ke depan membutuhkan dana sekitar Rp600 triliun, di mana 70% di antaranya diharapkan dibiayai oleh swasta.

Menanggapi ini, CEO Toll Road Business Astra Group, Infra Kris Ade Sudiyono menyatakan, butuh kebijakan dan leadership yang baik jika pemerintah ingin melibatkan swasta dalam program pengembangan transportasi di Jabodetabek.

Kris menuturkan, keterlibatan swasta dibutuhkan karena keterbatasan anggaran pemerintah. Namun, ada poin-poin penting yang harus diperhatikan pemerintah sebelum melibatkan swasta. Poin-poin penting yang dimaksud antara lain pernyataan otoritatif dari pemerintah, tata kelola yang baik, dan model bisnis yang jelas.

"Harus ada penegasan di awal yang disebut keputusan politik pemerintah. Tanpa adanya itu, maka swasta enggan masuk karena namanya swasta, pasti bicaranya soal bisnis," ujarnya.

Kris menambahkan, otoritas yang mewakili pemerintah perlu didorong dan menjadi penanggung jawab proyek, serta harus siap pasang badan jika sewaktu-waktu proyek yang diusulkan atau dijalankan mendapat penolakan dari publik maupun pemerintah daerah. Dengan demikian, swasta akan lebih merasa aman untuk terlibat dalam proyek pembangunan yang digagas pemerintah.

Wakil Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Sudaryatmo menuturkan, kondisi transportasi di Jabodetabek saat ini sudah cukup mengkhawatirkan.

Menurutnya, jumlah penduduk Jakarta pada 2014 sebanyak 10,8 juta orang dan terdapat 66 juta perjalanan, di mana sebesar 27% atau 17,8 juta orang menggunakan angkutan umum. Dalam memenuhi mobilitas warga Jakarta, didukung infrastruktur jalan sepanjang 6.866 km (2010), empat tahun kemudian (2014) bertambah menjadi 6.955 km.

"Pertumbuhan jumlah kendaraan dalam lima tahun terakhir rata-tata 9,93 % per tahun. Sepeda motor menjadi kontributor pertumbuhan tertinggi populasi kendaraan di Jakarta, yaltu 10,54%, disusul mobil penumpang 8,75%, mobil barang 4,46%, sementera kendaraan bus hanya tumbuh 2,13%," tuturnya.

Dia menilai perlu ada langkah-langkah untuk menjadikan mobilitas warga Jakarta menjadi lebih eflsien, baik dari segi biaya maupun waktu tempuh agar mendukung kelestarian lingkungan hidup, dengan menjadikan angkutan umum massal berbasis rel sebagai tulang punggung.

"40% mobilitas warga menggunakan angkutan umum pada 2019, 60% mobilitas warga menggunakan angkutan umum pada 2030," katanya.

Baca Juga: Pembangunan Transportasi Jadi Kunci Bangun Kota Jakarta

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Yosi Winosa
Editor: Rosmayanti

Bagikan Artikel: