Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Meski Himpun Rp8 Triliun di IPO, Pesaing Starbucks Ini Masih Merugi

Meski Himpun Rp8 Triliun di IPO, Pesaing Starbucks Ini Masih Merugi Kredit Foto: KrAsia
Warta Ekonomi, Jakarta -

Saham Luckin Coffee yang berbasis di China ditutup pada US$20,38 (sekitar Rp294 ribu) pada hari pertama penjualan di Nasdaq. Angka itu 19,88% lebih tinggi dari harga penawaran umum perdana yang diharapkan perusahaan, yakni US$17 (sekitar Rp245 ribu).

Dalam dokumen prospektus finalnya, Luckin bermaksud untuk menggunakan dana dari IPO untuk meningkatkan kesadaran terhadap citra mereknya. Perusahaan juga akan memperluas basis pelanggan dan jaringan kedai, berinvestasi besar-besaran dalam penawaran diskon, serta pemasaran dan penjualan.

“(Langkah-langkah itu dilakukan) seiring dengan berlanjutnya rencana perusahaan untuk memperluas jaringan toko dan penawaran produk, ” tulis Luckin Coffee dalam dokumen tersebut, seperti yang dilaporkan oleh KrAsia (20/5/2019).

Baca Juga: Luckin Mau Go Public, Persaingan dengan Starbucks Pun Makin Panas!

Perusahaan yang dirintis mulai Juni 2017 itu mulai menjual kopi sejak Oktober 2017 itu menghimpun US$561 juta (sekitar Rp8 triliun) dalam IPO-nya, setelah berhasil menjual 33 juta depositary shares di Amerika Serikat (AS).

Saingan besar Starbucks di China itu telah berkembang menjadi rantai kopi terbesar kedua di negeri tirai bambu. Saat ini, Luckin memiliki 2.400 kedai kopi di 28 kota dan berencana menambahnya hingga 4.500 hingga akhir 2019.

Dari sisi pelanggan, terdapat 16,8 juta pelanggan bertransaksi secara kumulatif hingga akhir Maret lalu. Sementara itu, sudah ada 90 juta gelas yang mereka jual hingga Januari lalu.

Baca Juga: Intip Persaingan Starbucks dan Luckin di China, Siapa yang Unggul?

Meskipun begitu, Luckin masih belum mendapatkan untung karena masih giat membakar uang demi persaingan. Perusahaan rintisan itu mengalami kerugian bersih sebesar US$241,3 juta (sekitar Rp3,5 triliun) pada 2018. Dalam tiga bulan pertama tahun ini, kerugian itu mencapai US$82,2 juta (sekitar Rp1,2 triliun) karena besarnya pengeluaran dalam pemasaran, seperti penawaran diskon yang dilakukan besar-besaran.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Tanayastri Dini Isna
Editor: Kumairoh

Bagikan Artikel: