Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Partisipasi Negara Membangun Desa

Oleh: Dwi Mukti Wibowo, Pemerhati masalah ekonomi, sosial, dan kemanusiaan

Partisipasi Negara Membangun Desa Kredit Foto: Antara/Wahdi Septiawan
Warta Ekonomi, Jakarta -

Sebagian desa di Indonesia masih miskin, lemah, terbelakang, dan tergantung. Kenapa? Apakah pembangunan desa belum membuahkan perubahan (transformasi) besar? Inilah misteri desa yang tidak terpecahkan secara teknis, teknokratis, dan manajerial.

Robert Chamber, 30 tahun silam sudah mengingatkan kegagalan pembangunan desa yang dilakukan dari atas dan dari depan sehingga merekomendasikan pembangunan desa dari belakang. Bruce Mitchel (1994), dalam studinya tentang pembangunan desa di Bali menunjukkan jika pembangunan desa dari dalam lebih kokoh dan berkelanjutan ketimbang pembangunan yang diprakarsai dari luar.

Ini selaras dengan cara pandang Prof. Robert Lawang (2006), karena semua orang luar itu anti-desa. Sementara Tania Muria Li (2012), menyatakan jika niat baik serta rencana hebat untuk memakmurkan kehidupan orang banyak sama sekali bukan jaminan kemakmuran akan benar terwujud.

Pada banyak peristiwa, program pemakmuran itu sendiri tidak bebas nilai. Kaum yang hendak dibangun bukan ruang kosong yang bisa diisi apa saja. Sementara kelompok yang hendak membangun entah itu pemerintah, organisasi keagamaan, atau LSM juga tidak bebas dari kepentingan kelompok.

Desa bukan hamparan tanah yang dihuni masyarakat, bukan wilayah dan unit administrasi pemerintahan yang mudah dikendalikan oleh pemerintah, bukan sekadar komunitas lokal, bukan sebagai lahan kosong yang siap menerima beragam intervensi pembangunan. Bukan juga sebagai pasar outlet proyek pembangunan. Desa merupakan identitas, institusi, dan entitas lokal seperti "negara kecil", yang memiliki wilayah, kekuasaan, sumberdaya, pranata lokal, dan masyarakat.

Ketika aparatur negara tidak paham terhadap hakikat desa sebagai negara kecil ini maka NKRI sebagai negara besar akan selalu gagal membangun desa.

Kita bisa memahami misteri desa dengan cara mengingat kembali pepatah dan petuah Jawa: desa mawa cara, negara mawa tata. Petuah ini bukan hanya memberi pesan tentang multikulturalisme seperti pepatah: di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Desa mawa cara (desa dengan cara) membuahkan frasa "cara desa" yang bermakna desa memiliki cara, adat, kebiasaan, kearifan lokal dan prakarsa lokal.

Negara mawa tata (negara dengan tatanan) menghadirkan frasa "tata negara" bahwa negara mempunyai peraturan, hukum, administrasi, birokrasi, perencanaan, keuangan, akuntansi, dan sebagainya.

Cara desa dan tata negara merupakan dua paradigma yang memiliki nalar dan kepentingan berbeda. Benturan antara dua paradigma itu membuahkan dilema intervensi negara masuk desa. Kalau negara tidak hadir salah, tetapi kalau hadir keliru. Negara tidak hadir disebut isolasi, yaitu negara membiarkan desa tumbuh sendiri dengan swadaya lokal atau membiarkan desa dirusak oleh tengkulak maupun korporasi. Desa bisa miskin, terbelakang, maupun menjadi penonton di rumahnya sendiri karena negara tidak hadir (isolasi).

Jika negara hadir, keliru apabila memasukkan dan memaksakan "tata negara" ke dalam desa. Dengan niat memperbaiki, para aparatur negara memandang desa dari Jakarta, berupaya mengubah "cara desa" menjadi "tata negara". Mereka kurang mengakui, menghormati, memberdayakan, dan memuliakan "cara desa", karena memasukkan "tata negara" dengan modernisasi, korporatisasi, teknokratisasi, dan birokratisasi.

Intervensi "tata negara" bukan hanya gagal dari sisi kehendak untuk memperbaiki dan membangun desa, tetapi juga menundukkan, melemahkan, dan merusak "cara desa". Dalam praktik, teknokratisasi-birokratisasi (seperti yang terjadi pada kasus dana desa) ini telah menghadirkan tiga penyimpangan.

Pertama, siasat lokal biasa ditempuh para pemangku desa yang cerdik untuk menembus kerumitan birokrasi, dengan spirit "melakukan hal yang salah dengan cara yang benar". Kedua, penumpang gelap adalah para "konsultan petualang" yang membantu desa menyiapkan dokumen perencanaan dan penganggaran desa, guna memperoleh kucuran dana desa. Ketiga, para aparat daerah sibuk melakukan asistensi dan verifikasi terhadap dokumen yang disiapkan desa, tetapi semua ini berujung pada pencarian rente.

Partisipasi Negara Membangun Desa

Kehadiran Nawa Cita menjadi paradigma baru yang mengubah anggapan intervensi kurang menguntungkan bagi perkembangan dan pembangunan desa, yang idealnya tumbuh dari internalnya sendiri. Menumbuhkan ekonomi desa menjadi jawaban atas keraguan yang berlebihan, dan sekaligus menjadi penggeser orientasi pentingnya intervensi dari pemerintah pusat atau otoritas ekternal desa bersangkutan.

Apalagi dengan dialokasikannya Dana Desa yang menjadi aliran darah untuk membangun desa sesuai harapan dan kearifan lokalnya. Kini desa bukan hanya tempat untuk bermasyarakat tetapi juga tempat untuk berdesa bagi masyarakat. Desa memiliki kekuasaan dan pemerintahan, yang di dalamnya mengandung otoritas (kewenangan) dan akuntabilitas untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat. Ketika mandat dari rakyat koheren dengan otoritas dan akuntabilitas maka legitimasi dan kepercayaan akan menguat. Desa akan mampu menjalankan fungsi proteksi dan distribusi pelayanan dasar kepada warga masyarakat.

Kewenangan asal-usul dan kewenangan lokal dalam Undang Undang (UU) Desa merupakan instrumen penting untuk melembagakan masyarakat/tradisi berdesa. Melalui kewenangan itu, desa mempunyai otoritas dan akuntabilitas mengatur dan mengurus barang-barang publik untuk melayani kepentingan masyarakat setempat. APBDesa digunakan untuk membiayai kewenangan yang direncanakan. Sebaliknya masyarakat juga membiasakan diri untuk memanfaatkan desa sebagai representasi negara yang mengatur dan mengurus mereka, bukan hanya sebatas terlibat dalam pemilihan kepala desa, bukan juga hanya mengurus administrasi, tetapi yang lebih penting adalah memanfaatkan desa sebagai institusi yang melayani kepentingan mereka.

Kenapa Desa Harus Sejahtera dan Mandiri?

Menurut Lendy W. Wibowo, desa sejahtera dan mandiri adalah suatu kondisi yang mencerminkan kemauan masyarakat desa yang kuat untuk maju dan sejahtera. Desa sejahtera dan mandiri bertumpu pada Trisakti Desa yaitu Karsa, Karya, Sembada. Ketiganya tidak hanya mencakup bidang ekonomi, tetapi juga budaya dan sosial yang bertumpu pada tiga daya yaitu berkembangnya kegiatan ekonomi desa dan antar-desa, makin kuatnya sistem partisipatif desa, serta terbangunnya masyarakat di desa yang kuat secara ekonomi dan sosial-budaya serta memiliki keperdulian tinggi terhadap pembangunan serta pemberdayaan desa.

Tiga daya tersebut di atas selaras dengan konsep yang disampaikan Ahmad Erani Yustika (Mantan Dirjen di Kemendes PDTT) bahwa membangun desa dalam konteks UU Desa setidaknya mencakup upaya-upaya untuk mengembangkan keberdayaan dan pembangunan masyarakat desa di bidang ekonomi, sosial, dan kebudayaan. Konsep tersebut dikenal dengan istilah: Jaring Komunitas Wira Desa, Lumbung Ekonomi Desa, dan Lingkar Budaya Desa.

Jaring Wira Desa adalah upaya menumbuhkan kapasitas manusia desa yang mencerminkan sosok manusia desa yang cerdas, berkarakter, dan mandiri. Jaring Wira Desa menempatkan manusia sebagai aktor utama yang mampu menggerakkan dinamika sosial ekonomi serta kebudayaan di desa dengan kesadaran, pengetahuan, serta keterampilan sehingga desa juga melestarikan keteladanan sebagai soko guru kearifan lokal.

Lumbung ekonomi desa tidak cukup hanya menyediakan basis dukungan finansial terhadap rakyat miskin, tetapi juga mendorong usaha ekonomi desa dalam arti luas. Penciptaan kegiatan-kegiatan yang membuka akses produksi, distribusi, dan pasar bagi rakyat desa dalam pengelolaan kolektif dan individu harus berkembang dan berlanjut. Pembangunan dan pemberdayaan desa diharapkan mampu melahirkan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan berkelanjutan. Pertumbuhan ekonomi yang berkualitas adalah konsep perkuatan dan kontribusi yang disumbangkan sektor ekonomi riil. Sektor ekonomi riil yang tumbuh dan berkembang dari bawah karena dukungan ekonomi rakyat di desa.

Pertumbuhan ekonomi dari bawah bertumpu pada dua hal pokok yaitu memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada pelaku ekonomi lokal untuk memanfaatkan sumber daya milik lokal dalam rangka kesejahteraan bersama. Dan memperbanyak pelaku ekonomi untuk mengurangi faktor produksi yang tidak terpakai.

Selanjutnya, lingkar budaya desa mengangkat kembali nilai-nilai kolektif desa dan budaya bangsa mengenai musyawarah mufakat serta gotong-royong dan nilai-nilai manusia desa Indonesia yang tekun, bekerja keras, sederhana, serta punya daya tahan. Selain itu, lingkar budaya desa bertumpu pada bentuk dan pola komunalisme, kearifan lokal, keswadayaan sosial, teknologi tepat guna, kelestarian lingkungan, serta ketahanan dan kedaulatan lokal. Hal ini mencerminkan kolektivitas masyarakat di desa.

Beberapa Hal yang Perlu Dicermati

1. Dilema negara membangun desa, apakah diprakarsai dari dalam atau dari luar desa harus diakhiri karena sudah tidak relevan lagi dengan perubahan zaman dan geliat ekonominya yang membutuhkan sentuhan tangan negara. Yang penting adalah pembangunan desa jangan sampai menghilangkan identitas desa dengan kearifan lokalnya;

2. Cara desa dan tata negara harus melebur menyatu mewujudkan koordinasi, sinergi, dan kolaborasi menembus kerumitan birokrasi yang selama ini membelenggu upaya membangun peradaban desa yang lebih mandiri dan sejahtera;

3. Kehadiraan Nawa Cita dalam upaya menumbuhkan ekonomi pinggiran terutama desa sudah tepat waktunya dan tidak perlu diperdebatkan lagi. Nawa Cita jangan ditafsirkan sebagai bentuk intervensi pemerintah, tetapi sebagai "keberpihakan" pemerintah membangun desa sesuai harapan dan kearifan lokal yang dimiliki desa yang bersangkutan serta dalam mendukung pemerataan pembangunan nasional;

4. Desa yang mandiri dan sejahtera adalah kondsi yang tidak mungkin ditawar lagi karena mencerminkan kemauan masyarakat sesuai tuntutan zaman;

5. Keberadaan UU Desa menjadi monumen penting bagi desa untuk mewujudkan pembangunan ekonomi di desanya. UU Desa juga memberikan "aturan main" pada desa sebagai institusi yang diberikan kesempatan untuk yang melayani kepentingan desa dan warganya sendiri;

6. Pembangunan dan pemberdayaan desa harus mampu memberikan kontribusi positif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah setempat, menumbuhkan sektor ekonomi riil, membantu pengendalian inflasi di daerahnya, dan memberikan kesempatan warganya menjadi pelaku ekonomi lokal.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Cahyo Prayogo

Bagikan Artikel: